Judul | Abstract | Halaman |
---|
Melacak Geneologi Credo (Ke)Polisi(an) | Tulisan in merupakan pembacaan sejumlah kredo kepolisian secara beyond. Bukan unutk mengatakan keusangan sebuah kredo namun usaha melacak kredo dalam kompatibilitasnya dari sudut ruang dan waktu. Pembacaan semacam ini acapkali terjebak pada resiko Kegenitan logika. Sebagaimana kritik balik kaum positivist atas penganut Post-mo, yaitu; kritik-tanpa solusi. Penggunaan nama Richard Rorty - yang oleh sebagian kalangan disebut nihilis - dalam konteks ini mendapatkan relefansi moral melalui logika sintetiknya. Penggunaan Rorty disini dan semacam ini tentu mengundang diskusi. | 8-16 |
Etika Kepolisian (dalam Komunitas Spesifik Polri) | Organisasi seperti kepolisian, sebagaimana organisasi pada umumnya, memiliki etika yang menunjukkan perlunya bertingkah laku sesuai dengan peraturan-peraturan dan harapan yang memerlukan kedisplinan dalam melaksanakan tugasnya sesuai misi yang diembannya selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang dan tanggung jawab. Oleh karena itu etika kepolisian yang terbentuk kedalam kode etik dan peraturan disiplin harus mampu untuk menjawab tantangan tugas yang penuh dengan dinamika berbangsa dan bernegara. | 17-25 |
Peran Polisi Ideal di Tengah Dinamika Perubahan Sosial | Selama ini, masalah keamanan difahami sebagai kemampuan suatu negara untuk melindungi ancaman serangan militer dari negara lain atau ancaman meledaknya revolosi. Karena itu, membangun kekuatan militer adalah kunci dalam menjaga keamanan nasional (state security). Namun, dengan timbulnya masalah keamanan baru, dari soal terorisme, kejahatan narkotika, hingga konflik-konflik antar kelompok yang muncul bertubi-tubi, lahirnya konsep keamanan baru, yaitu keamanan manusia atau human security. Dalam konteks inilah, polisi harus lebih proaktif membenahi kinerjanya tidak saja sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, namun juga sebagai alat efektif untuk melindungi manusia dari ancaman pemusnahan. Oleh karena itu, polisi dituntut untuk lebih terlatih dalam memahami masalah-masalah sosial, bertindak profesional dalam melakukan langkah-langkah preventif mencegah terjadinya konflik-konflik sosial. | 26-33 |
Refleksi Profesionalisme Polri | Profesionalisme kepolisian merupakan landasan dasar bagi institusi profesi termasuk juga kepolisian. Profesionalisme kepolisiain dapat dilihat, diukur dan dirasakan secara signifikan hasilnya oleh masyarakat yaitu adanya jaminan keamanan dan rasa aman warga masyarakat dalam beraktifitas. Dengan adanya jaminan tersebut masyarakat akan merasa aman nyaman dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas yang dapat mensejahterakan kehidupan mereka. Produk kinerja baik yang berupa konseptual, managerial, operasional dan peningkatan kualitas hidup masyarakat akan menunjukkan profesionalitas. Hal ini harus dipertanggung jawabkan secara bertingkat tiingkat yang disesuikan pada konteks atau lingkup tugas masing-masing. Baik secara administrasi, hukum bahkan secara moral sekaligus. | 34-47 |
Citra Polisi di Tengah Kebebasan Pers dan Profesionalisme | Di era reformasi yang penuh dengan hiruk pikuk peristiwa hukum dan carut marutnya kehidupan sosial politik, masih banyak kasus-kasus lain yang jauh lebih dekat dan lekat dengan kepentingan publik, yang bisa diurus polisi. Tugas Polri itu mulia dan sangat didambakan rakyat Indonesia, khususnya di tengah arus globalisasi, demokratisasi dan era kemajuan teknologi informasi yang menjadi niscaya. di negara yang mengalami transisi politik seperti Indonesia, hanya ada dua lembaga bisa diharapkan menjalankan peran sebagai pembentuk nilai-nilai bersama - share value - yang efektif. Satu adalah institusi yudikatif (jaksa, pengacara dan hakim) dan yang kedua adalah polisi. Sehingga untuk bisa menunjukkan profesionalismenya, Polri juga harus mampu membangun citra, apalagi di tengah era kebebasan pers saat ini. | 48-61 |
Polisi dalam Hiruk-pikuk Demokratisasi | Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju de-mokrasi seperti Indonesia saat ini adalah palembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi. Saat ini kondisi di Indonesia menganut demokrasi yang tidak jelas, yaitu presidensiil dengan aroma parlementer. Sehingga memandang birokrasi secara teoritis pada kalangan birokrat di Indonesia akan jauh dari ideal yang ada. Birokrasi di Indonesia belum sepenuhnya menjiwai roh demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, oleh rakyat. Hal ini karena kepentingan elite masih lebih dominan dengan bungkus demokrasi yang dilakukan oleh para birokrat. Inilah yang kemudian menjadi problem bagi Polri. Sebagai alat negara yang bertanggung-jawab untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, posisi Polri menjadi sulit dalam menyikapi situasi saat ini, situasi dimana hiruk-pikuk demokratisasi sedang terjadi di Indonesia. | 62-73 |
Konsep dan Sosok Reformasi Birokrasi Polri | Kelambanan sebuah organisasi menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungannya, mengharuskan organisasi tersebut mereformasi systemnya menjadi sebuah sistem yang sehat yang lebih fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan tantangan perubahan lingkungannya. Polri, sebagai sebuah organisasi publik juga tak luput dari persoalan ini. Dan untuk merespon dan menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang ada, Polri sedang dan saat ini melaksanakan reformasi birokrasinya (reformasi birokrasi Polri gelombang II) dengan focus pada 9 (Sembilan) aspek yang meliputi; Penataan organisasi, penataan Tata Laksana, penataan peraturan perundang-undangan, peningkatan kualitas pelayanan publik, penataan sistem SDM aparatur, manajemen perubahan, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, monitoring evaluasi dan pelaporan. | 74-82 |
Kultur Kepolisian : Perlukah Diubah? | Budaya polisi yang terlalu kental, akan menjadi sesuatu yang negatif. Dalam formatnya yang negatif itu, budaya polisi dapat ditengarai dari sudut kecenderungan kepolisian yang sinis kepada publik, saling menutupi kesalahan rekan, pemujaan pada mitos serta mengembangkan pola komunikasi yang hanya dimengerti oleh kalangan kepolisian saja. Untuk konteks Polri, budaya atau kultur polisi dianggap sebagai aspek yang tak kunjung, atau sedikit sekali berubah, semenjak Reformasi Polri diluncurkan satu dekade lalu, dibandingkan aspek struktural dan instrumental. Pemikir konservatif cenderung melihat persoalan budaya ini dari sudut negatif. Sementara itu, secara positive thinking, adalah budaya kepolisian juga yang menjadikan para anggotanya mau bekerja diluar dan melampaui penggilan tugas. | 83-88 |
Penalaran Hukum Penyidik Polri: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan (Gagasan untuk Mewujudkan Keadilan Pancasila) | Penalaran hukum merupakan penalaran berbasis masalah yang berasal dari peristiwa konkret yang terjadi akibat interaksi kepentingan manusia yang satu dengan manusia yang lain, baik sebagai individu maupun kelompok sosial. Penalaran hukum berusaha menjawab permasalahan tersebut dengan memberikan keputusan tertentu untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu kepada sistem hukum positif. Dalam kaitannya dengan penyidikan, model-model penalaran hukum di bidang penyidikan juga bersesuaian dengan aliran-aliran filsafat hukum tertentu. Apabila filsafat hukum mengadakan penilaian terhadap proses penyidikan yang adil bagi bangsa Indonesia, maka yang dipergunakan sebagai ukuran, alat penilai, atau batu ujiannya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. | 89-102 |
Ethics and Accountability for Enhancing Police Performance: Philippine Experience and Perspectives | The police force was the subject of some criticism, and the object of repeated reforms. In any large organization, some bad apples are inevitable. Policemen were accused of involvement in illegal activities and violent acts. The transformation of our police force into a civilian character was underpinned by the belief that law and order are two notions, not a single concept. Law is in constant tension with order, and the basic function of law is to restrain the police and the authorities who are responsible for keeping order. As we all know, wars, ideological struggles, and deep-seated social unrest or ethnic, religious or tribal conflicts are fertile areas of human rights violations. Armed conflict leads to the breakdown of infrastructure and civic institutions, which in turn undermines a broad range of rights. In contemporary Philippine history, we have experienced these conflicts, which seriously complicate the police functions and give rise to human rights violations. Only through respect for the dignity and the freedom of the individual can we strengthen our democratic processes and advance the cause of social justice. | 103-109 |
Popularitas Briptu Norman Kamaru: Jejaring Media Sosial, Tantangan dan Inspirasi Bagi Kepolisan | Tulisan ini mengulas fenomena popularitas Briptu Norman Kamaru dalam konteks perubahan yang terjadi pada jejaring media sosial yang menggejala sebagai kecenderungan umum forma komunikasi modern. Setelah uraian mengenai fenomena popularitas Briptu Norman yang mendunia, uraian dilanjutkan dengan menempatkan fenomena ini dalam konteks dan spektrum kehidupan sosial Indonesia masa kontemporer lebih luas, yang telah banyak mengubah masyarakat sipil/madani sejak Reformasi. Proses globalisasi teknologi komunikasi dan perkembangan penggunaan media sosial menjadi kunci dari tantangan yang harus direspon untuk tugas-tugas kepolisian menyertakan masyarakat publik sebagai subyek. Tantangan dan peluang dengan mengambil inspirasi fenomena Norman Kamaru menginsyafkan pemahaman bahwa perkembangan penggunaan media sosial sebagai kontrol sosial baru sedang terjadi seperti contoh-contoh dan alasan keaktifan pengadopsian pendekatan di tempat lain, seperti praktek kepolisian Australia. Kesimpulan mempertimbangkan fenomena Norman Kamaru sebagai momentum meningkatkan profesionalitas Polisi yang dapat ditakar, transparan dan memiliki akuntabilitas yang tinggi. | 110-122 |
Ilmu Kepolisian, Suatu Tinjauan Filsafat Ilmu | Bila dikaitkan dengan kebutuhan polisi (Polri), maka definisi ilmu kepolisian secara umum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh seorang polisi dalam melaksanakan tugas kepolisian secara profesional. Definisi umum ini menunjukkan bahwa pekerjaan polisi adalah pekerjaan yang bersifat profesional, atau merupakan profesi seseorang. Ilmu kepolisian adalah kajian yang memerlukan berbagai pendekatan keilmuan. Untuk dapat menjadi suatu disiplin ilmu yang mandiri, maka pendidikan kepolisian, secara epistemologi harus melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu saja. Namun karena tugas pokok fungsi kelembagaan polisi secara profesional memerlukan bantuan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan ilmiah. | 123-130 |
Alternatif Penyelesaian Perkara oleh Polri Melalui ADR & Restorative Justice | Sanksi Pidana yang dirumuskan dalam Hukum Pidana diseluruh dunia masih merupakan bagian dominan yang diandalkan dalam penanganan perkara pidana. Berbagai penelitian dan teori, membuktikan betapa sistem pemidanaan semacam ini banyak mengalami kegagalan, terutama dalam memberi keadilan bagi para korban di satu sisi dan jumlah penyelesaian perkara secara kuantitatif di sisi lain. ADR & RJ dilirik oleh berbagai kalangan sebagai sebuah suplemen dari sistem pemidanaan yang sudah ada. Secara normatif hal ini memungkinkan dilakukan di Indonesia oleh Polri. Kondisi riil dari sistem pemidanaan, terutama pemahaman dan nilai yang dipegang oleh para penegak hukum termasuk Polri serta perundang-undangan, membutuhkan penelitian, konsultasi publik dan usaha-usaha lain untuk mempersiapkan aplikasinya agar tidak menjadi cultural schok. | 131-139 |
Konstruksi Makna Spirit Ideologi dan Obsesi Perjuangan Terpidana Kelompok Teroris dalam Kasus Konflik Poso | Makna dibalik spirit ideologi yang telah dikonstruksi kelompok teroris terdiri atas tiga makna utama yaitu qisas, jihad fi sabilillah, syariat Islam. Qisas adalah pembenaran yang dilakukan oleh kelompok muslim Poso dalam melakukan aksi balas dendam dengan cara-cara teror. Selain qisas, indoktrinasi ideologi yang telah dikonstruksi oleh kelompok teroris adalah menanamkan ideologi jihad untuk melakukan perlawanan terhadap kelompok-kelompok tertentu yang tidak memiliki pandangan dan ideologi yang sama dengan kelompok mereka serta menuntun dan memperjuangkan hak keadilan dan penegakan hukum atas berbagai kasus yang terjadi selama konflik Poso. Pada aspek yang paling mendasar dari totalitas indoktrinasi kelompok teroris adalah mengobarkan semangat dan obsesi perjuangan dalam penegakan syariat Islam dengan cara penolakan semua sistem dan aturan hukum yang bersumber dari kaum kuffar termasuk penolakan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. | 140-157 |
Hilangnya Ranah Pribadi dan Kejahatan Penculikan (Tindak Kejahatan Penculikan Anak) | Tindak kejahatan penculikan anak banyak terjadi di perkotaan disebabkan karena tidak adanya ranah pribadi (private) bagi anak-anak. Semua ruang bagi anak dianggap sebagai ranah publik yang bisa diaksesdan dijangkau oleh semua orang. Akibatnya anak-anak tidak bebas bergaul dengan orang lain. Keterbukaan ranah pribadi ini menyebabkan komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) anak menjadi begitu terbuka dan tidak ada kecurigaan (prejudice) terhadap orang lain yang dianggap asing. Kebingungan anak inilah yang menyebabkan mereka begitu rentan dan mudah menjadi korban dalam tindak kejahatan penculikan. | 158-168 |