Jurnal Studi Kepolisian Edisi 073, Juni-September 2010 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Studi Kepolisian Edisi 073, Juni-September 2010
Informasi Detil
Volume |
Edisi 073, Juni-September 2010
|
---|---|
Penerbit | Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian : jakarta., 2010 |
ISSN |
0216-2563
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Polisi, Publik dan Ruang Relasi (Sebuah Penghampiran Post-Modern) | Tulisan ini adalah sebuah upaya menangkap cara berfikir publik dalam gonjangan kepolisian (Kasus Komjen Susno sebagai entri point). Verstehen-nya Max Weber dipakai untuk memahami cara fikir publik ini; tangkapan rasionalitas-instrumental, tangkapan emotive, dan tangkapan (artikulasi) estetik. Cara Foucoult (ian) dipinjam sebagai gaya bertutur (sekaligus metode eksplanasi) dengan cara melacak (kegagalan) metodologi masyarakat modern. | 11-16 |
The "Soft Approach" Strategy In Coping With Islamist Tettorism In Indonesia | Indonesia is posited as the centre of gravity for Islamic terrorism in Southeast Asia. The presence of several radical groups, such as Al Jamaah al Islamiyyah (JI), with their vast networks in Indonesia and beyond, as possible supportive elements in the Muslim-majority population, seems to vindicate the above image. Indeed, a series of brutal attacks terrorism have taken place since 2000-with the 2002 Bali bombing as the apex. Govermnet moved forward by tasking law enforcement apparatus to reveal the case, bring the perpetrators to justice, and unveil their network. This signifies the adoption of a Law Enforcement-focused strategy with the police in the fore front. This strategy however does not mean other counter-terrorism tools are put aside, such as intelligence and military force. These tools were also used, but law enforcement, in which an act of terrorism is perceived as a crime, became the focus of the strategy. The law enforcemnt strategy has several shortcomings and therefore it should be complemented by the soft approach strategy to counter radicalization. The existing efforts for countering radicalization and rehabilitation of detainees should be continued and intensified by the police. Meanwhile, other measures of countering radicalization could be coordinated by Office of the Coordinating Desk for Anti Terrorism. Of the financial problem is the most immediate one to be resolved. The police should continue their persuasive efforts to deal with radical individuals and expand their targets to include potential, influential leaders and senior members in the radical network with the help of a team consisting of selected Islamic scholars and psychologists. | 17-34 |
Agama, Penghakiman Massa dan Polisi | Agama senantiasa mengajarkan kebaikan dengan wajah Keilahian. Namun dalam tafsiran dan perilaku manusia dapat berubah beringas dan anarkis dalam bentuk penghakiman massa. Negara seyogianya merupakan kekuatan imperatif untuk menghindari kebringasan dan anakhisme pemeluk agama. Undang-undang negara memberikan otoritas kepada polisi sebagai lambang kekuasaan negara untuk melakukan fungsi ini. Polisi tidak dapat hanya melakukannya atas dasar undang-undang saja, tetapi membutuhkan dukungan pilitis dan sosiologis yang harus dibangun oleh negara dalam konteks yang lebih luas. Dengan demikian tindakan polisi tidak akan memancing secara langsung persoalan yang lebih kompleks dari kelompok masyarakat anarkis yang meimiliki penafsiran tertentu atas agama yang dipeluknya tanpa melihat konteks bernegara yang pluralistis. | 35-42 |
Fenomena "Markus": Dibenci Sekaligus Dibutuhkan | Istilah markus, yang mengacu pada perilaku anggota masyarakat atau aparat hukum yang merekayasa kasus untuk kepentingan tersangka dengan imbalan uang, dewasa ini hendak dijadikan suatu istilah hukum dan persoalan hukum. Mempergunakan pendekatan sosiologis, tulisan ini memperlihatkan bahwa fenomena ini sebenarnya hidup di masyarakat, dan tidak selamanya dibenci atau dihindari. Dalam kaitan itu, diperlukan suatu pemfokusan dan pemilahan apabila pelaku markus hendak dibawa ke depan hukum. | 43-49 |
Perlunya Kriminalisasi terhadap Kejahatan Penyelundupan Manusia di Indonesia | Pada konteks kejahatan transnasional, penyelundupan manusia merupakan salah suatu bentuk kejahatan transnasional yang terorhanisasi yang potensial menimbulkan berbagai macam implikasi pada kejahatan lain. Penyelundupan manusia dapat menjadi takaran lemahnya sistem hukum suatu negara dalam menangani motivasi teselubung dari para imigran untuk menjadikan negara tersebut sebagai negara perantara untuk kejahatan. Penyelundupan manusia di Indonesia belum dikenal sebagai sebuah kejahatan, tetapi lebih dikenal dengan pelanggaran keimigrasian. Dalam penegakan hukumnya, mulai dari penyidik kepoisian, penuntut umum sampai dengan hakim, mempunyai ambigu dalam menerapkan aturan pemidanaannya. Karenanya perlu kriminalisasi atas kejahatan penyelundupan manusia ini dalam suatu bentuk aturan perundang-undangan. | 50-57 |
Peran Polri terhadap Pemutusan Jaringan Peredaran Narkoba di Lapas | Pengembangan narkoba dalam 5 (lima) tahun terakhir ini menunjukan jumlah tersangka pada kasus narkotika, psikotropika dan bahan berbahaya lainnya yang di lakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing mengalami peningkatan. Dalam perkembangannya peredaran narkoba dapat menembus tembok dan penjagaan yang ketat di Rumah tahanan Negara Dan Lembaga pemasyarakatan. Penegakan hukum yang di lakukan Polri di lapas sering menemui kegagalan karena adanya birokrasi yang menghambat kegiatan operasi dan adanya keterlibatan pihak petugas lapas. | 58-63 |
Restrukturisasi Polri Ditinjau dari Sistem dan Strategi | Reformasi Polri merupakan salah satu komponen penting dalam birokrasi sektor keamanan di Indonesia, sebab pembenahan terhadap lembaga ini akan terkait dengan kelembagaan sistem peradilan pidana dan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat. Pengorganisasian Polri secara sentralistik memiliki kosekuensi seluruh tanggungjawab pemolisian di Indonesia berada pada tangan Mabes Polri. Dengan kata lain, Mabes Polri merupakan penanggungjawab bagi seluruh performance keamanan di Indonesia. Namun dalam praktek berbagai masalah organisasi yang terjadi di kesatuan bawah sering tidak terpecahkan oleh kesatuan atas. Dihadapkan pada kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia yang bersifat poli etnik, tantangan yang dihadapi Polri tentu memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap etnik. Apalagi menyangkut geografi yang luas dan terdiri dari banyak pulau. Kondisi ini menuntut spesifikasi organisasi untuk mengatasi tantangan yang memiliki karakter berbeda-beda. | 64-69 |
Bias Selebritas Petugas Kepolisian dan Kepercayaan Publik | Bias selebritas adalah fenomena baru yang muncul seiring terbukannya kran informasi dengan menjamunya media massa tanpa kontrol dari Negara. Bias selebritas akan menempel erat pada tokoh-tokoh publik, seperti; selebritis, pejabat negara, pengacara, aparat penegakan hukum (polisi, jaksa dan hakim). Sorotan kamera, rekaman mikropon, kedipan kampu blitz selalu mengarah pada pihak-pihak tersebut guna mengejar news value. Dengan kerja serabutan dan tidak ketatnya penyortiran awak media massa terjebak dalam bias-bias selebritas. Semua kasus diatur sesuai alur cerita dan penokohan dari sang tokoh. Publik yang mudah marah akan menghakimi dan menghujat, sehingga muncul konflik dan beraturan keras di masyarakat dan yang berlaku adalah pengadilan jalanan Publik semakin larut dalam media literate (buta media), akibatnya proses penegakan hukum terlecehkan atau terjadi penghinaan atas (cortem of court). Ujung dari permasalahan ini adalah semakin rendahnya kepercayaan publik pada aparat Kepolisian. | 70-81 |
Posisi Satpol PP dalam Konteks Reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah | Berbagai kasus menunjukkan ada masalah selama ini mengenai posisi Satpol PP, yaitu muncul kesan bahwa keberadaan Satpol PP tidak sesuai dengan paradigma baru kepemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh negeri ini. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat good governance, dimana kinerja birokrat harus diproyeksikan bagi kepentingan dan kesejahtaraan masyarakat. Potret kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari birokras, oleh masyarakat saat ini dinilai tidak mencerminkan paradigma baru mengenai konsep birokrasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi citra birokrasi karena akan berdampak pada stigma buruk oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan efek tidak produktifnya kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat. Dalam konteks reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia, posisi Satpol PP menjadi sangatlah penting, karena perannya dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan. | 82-94 |
Fundamentalisme Islam Dalam Gerakan Front Pembela Islam | Di seluruh dunia, gerakan fundamentalis sangat mempengaruhi cara hidup. Disusun untuk memberikan pemahaman yang mendalam, proyek komprehensif dan multi-volume Fundamentalisme bisa dianalisa berdasarkan pada sejarah, ruang-lingkup, sumber-sumber, watak, dan pengaruh gerakan fundamentalisme dalam tradisi-tradisi keagamaan besar. Di Indonesia, salah satu bentuk fundamentalis dilakukan melalui gerakan Front Pembela Islam (FPI). FPI yang lahir pasca kejatuhan rezim Orde Baru yang dikenal represif dan anti kebebasan, uniknya justru segala tindak tanduknya kemudia justru kontra-produktif dengan alam kebebasan berekspresi (demokrasi) yang menjadi spirit reformasi yang di boncengnya. Bagaimana mengetasi fenomena yang seperti ditunjukkan oleh FPI. | 95-106 |
Menyoal tentang Jabatan Fungsional di Polri | Jabatan Fungsional di Polri pada dasarnya merupakan amanah dari Uu No 2 tahun 2002 dan hal itu telah dicantumkan dalam keputusan Kapolri No.Pol: Kep /36/VIII/2004 tanggal 19 Agustus 2004. Namun dalam prakteknya belum dapat dilaksanakan sebagaimana jabatan fungsional yang berlaku pada departemen lain. Jabatan fungsional di Polri masih merupakan nomenklatur atau merupakan jabatan fungsional yang distrukturkan. Penyebabnya adalah selain keputusan Kapolri tidak mencukupi untuk mengoperasionalkan jabatan fungsional juga karena belum adanya aturan pelaksana lainnya, seperti : aturan yang mengatur tentang besaran tunjangan jabatan, penentuan angka kredit, dllnya. Oleh karenanya diperlukan produk hukum yang lebih tinggi dan aturan pelaksanaannya untuk mewujudkan jabatan fungsional di Polri. | 114-127 |
Penalaran Hukum dalam Peraturan Kepolisian di Bidang Penyidikan | Pasal 15 ayat (1) huruf e UU Polri menyebutkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugasnya, Polri berwenang mengeluarkan Peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasif kepolisian. Berbagai kebijakan dan strategi Polri termasuk dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan diformulasikan dalam Peraturan Kepolisian. Dalam perkembangannya sekarang, pelaksanaan kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidikan Polri, selain diatur dalam KUHAP maupun berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, juga telah diatur dalam berbagai Peraturan Kepolisian. Peraturan Kepolisian yang dibuat dan diberlakukan oleh Polri dalam pengaturan pelaksanaan kewenangan penyidikan memuat aturan dan kontrol yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh Penyidikan Polri dalam melaksanakan proses penyidikan terhadap tindak pidana. Dalam konteks yang demikian Peraturan Kepolisian mempunyai peranan yang efektif sebagai sarana untuk melakukan perubahan atau pembaharuan di lingkungan Penyidik Polri. | 135-147 |
Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pelayanaan Fungsi Reskrim di Polresta Madiun | Quick Wins program that prioritizes transparency is a program to improve job performance by means of maximizing public services. One of the police service improvement program to the public is the investigation process. The purpose of this study is to determine the level of public confidence in the services carried out by the Reskrim function on Polresta Madiun. The variables measured include self-perception and confidence level. The variable self-perception is used to explore perceptions of how much information on the duties by personnel Reskrim Polresta Madiun in serving the community. Variable confidence level is used to explore how optimal information personnel on functions Reskrim Polresta Mediun in carrying out public service tasks, so that the public feel confident that is has served well. Data collaction technique used was to the spreading of questionnaires, interviews, and observation. In this study, the intruments used in data collection is a questionnaires sheet. This research is limited only to see public trust in Polresta Madiun Police specially in reskrim functions only. Total respondents numbered 70 persons consisting of 40 persons from the community members and 30 persons from Police members. The result concluded a few things, namely: level of public confidence in the service of Reskrim function on Polresta Madiun quite high, amounting to 84%, perceptions of the duties by personnel reskrim madison Police in serving the community is quite high at 80%. implementation strategy of quick wins by the Reskrim function on Polresta Madiun is to provide a direct example of police officers in the field by the leaders, apart from that innovative methods and techniques in public service continues to be done so that this affects optimization the function of servies reskrim on Polresta Madiun. | 148-157 |