Judul | Abstract | Halaman |
---|
Fenomena Kekerasan Sosial Di Perkotaan Dan Langkah Antisipasinya Pada Tugas Pemolisian | Tulisan ini bermaksud menguraikan tentang konteks tumbuhnya fenomena kekerasan dalam kehidupan masyarakat luas serta upaya sistematis penanganannya dalam tugas pemolisian. Dalam tulisan ini kekerasan dilihat sebagai produk dari terjadinya konflik sosial baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Pemikiran yang akan dikembangkan dalam tulisan ini adalah bahwa keberbedaan semata tidaklah serta merta menimbulkan ketegangan maupun perseteruan, namun selalu ada isu perebutan sumber daya yang langka tetapi strategis sebagai pangkal ketegangan, yang bilamana meletus menjadi konflik kekerasan, mendorong mereka yang bertikai untuk mengaktifkan identitas askriptif yang terkuat guna menggalang kekuatan. | 1-18 |
Perpolisian Masyarakat-Polmas dan Etika Kepedulian (Ethic of Care) | Tulisan ini angin membahas pentingnya keterlibatan perempuan dalam Polmas. Pembahasan itu ditinjau melalui pembahasan administrasi kepolisian dan kebudayaan polisi termasuk masih adanya sikap militeristik. Pembahasan juga ditekankan pada pelaksanaan reformasi Polri yang harus lebih demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, melalui upaya untuk meningkatkan permberdayaan peran serta masyarakat dalam mengamankan diri dan lingkungannya serta dikaitkan dengan sebuah teori dalam feminisme, yaitu teori mengenai ethic of care perempuan yang dikaitkan dengan perannya dalam Polmas. | 19-36 |
Polisi dan Kekerasan Masyarakat | Fenomena kekerasan dalam masyarakat akhir-akhir ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi setiap lembaga pemerintahan, terutama bagi institusi penegak hukum, dimana garda terdepan dalam konteks penyelesaian hukum berada pada institusi kepolisian. Tugas dan kewenangan yang diberikan kepada kepolisian tertera dengan tegas terlihat pada Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI utamanya pada pasal 13, dikatakan bahwa Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) Menegakan hukum, dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Anggota Polri berhak dan wajib melakukan tindakan tegas, namun tindakan tegas dimaksud seyogyanya selaras dengan HAM bukan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penegak hukum kepada masyarakat yang sebenarnya merupakan mitra petugas Polri. | 37-46 |
Pencapaian Profesionalisme Polri melalui Pengembangan Strategi Eksternal Penerapan Polmas | Reformasi dan globalisasi membuat masyarakat semakin tahu akan hak-haknya, walaupun seringkali tuntutan akan hak tersebut tidak sebanding dengan pelaksanaan kewajiban, sehingga haknya pun tidak dapat dipenuhi dengan maksimal. Keadaan tersebut terjadi pada hubungan antara Polri dan masyarakat, masyarakat menuntut haknya untuk mendapatkan pelayanan dan penghargaan yang lebih baik dari Polri, sementara pelayanan dan penghargaan yang lebih baik tersebut hanya dapat dilakukan dengan mengupayakan profesionalisme di tubuh Polri dan upaya pencapaiannya wajib didukung penuh oleh masyarakatnya baik moril maupun materil. Dukungan inilah yang seringkali sulit didapat karena sikap masyarakat yang pasif dan apatis, memang sikap tersebut tidak timbul dengan sendirinya, ada banyak alasan mengapa masyarakat bersikap demikian diantaranya sikap Polri ketika zaman Orde Baru dahulu yang cenderung militeristik sehingga terkesan angker, kaku dan arogan membuat masyarakat kurang simpatik, sehingga masyarakat pun mengambil sikap pasif dan apatis apabila berurusan dengan polisi. Begitupula dengan adanya tindakan berlebihan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Oknum Polisi. Tindakan tersebut tanpa disadari menciptakan jarak antara Masyarakat dan Polisi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas yang dimuat dalam Kompas tanggal 30 Juni 2008 tantang Problem Profesionalitas di Tubuh Kepolisan hasilnya sebagai berikut. | 47-56 |
Model Pemolisian Untuk Mewujudkan dan Memelihara Keamanan, Rasa Aman serta Keselamatan dalam Masyarakat Perkotaan | Dalam masyarakat yang demokratis dituntut adanya produktifitas, bagi yang tidak produktif akan menjadi benalu. Dalam mencapai produktifitas yang dapat mensejahterakan mereka melakukan dalam berbagai aktivitas yang di dukung atau dilakukan melalui lalu lintas. Dalam suatu msyarakat untuk dapat hidup tumbuh dan berkembang diperlukan adanya produktifitas. Yang prosesnya ada ancaman, hambatan, gangguan, yang bisa menghambat bahkan mematikan produktifitas masyarakat. Untuk melindungi harkat dan martabat manusia yang produktif diperlukan aturan, hukum, norma, etika moral dan sebagaianya. Untuk menegakkannya dan mengajak masyarakat mentaatinya diperlukan institusi yang menanganinya, salah satunya adalah polisi. | 57-84 |
Trias Hukum Pidana Dalam Konsep RUU KUHP | Jika di bidang kenegaraan di kenal istilah Trias Politika, di dalam hukum pidana juga dikenal istilah Trias Hukum Pidana, yaitu perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responsibility) dan pidana (punishment). Istilah itu diperkenalkan oleh Sauer yang oleh H.L. Packer di sebut dengan the three concept atau the three basic problems berupa offence, guilt, dan punishment. Tiga hal tersebut merupakan permasalahan pokok dalam hukum pidana yang sekaligus juga akan menajdi landasan dalam penetapan politik penegakan hukum pidana. Persoalan perbuatan pidana atau criminal act akan menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, atau yang harus dilakukan, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana bagi setiap orang yang melanggar larangan tersebut. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, menyangkut persoalan apakah orang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik itu dapat dipersalahkan menurut hukum pidana dan kepadanya dapat dikenai sanksi pidana. Selanjutnya yang dimaksud dengan pidana, ialah nestapa yang akan dikenakan terhadap seseorang yang telah terbukti di persidangan dapat berupa perampasan kemerdekaan, denda, pencabutan hak-hak tertentu, atau pidana lainnya yang ditentukan pada masing-masing delik yang ditentukan dalam perundang-undangan pidana. | 85-96 |