Jurnal Studi Kepolisian Edisi 076, Januari-April 2012 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Studi Kepolisian Edisi 076, Januari-April 2012
Informasi Detil
Volume |
Edisi 076, Januari-April 2012
|
---|---|
Penerbit | Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian : jakarta., 2012 |
ISSN |
0216-2563
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Polisi dalam Ideologi Demokrasi | Klaim Francis Fukuyama tentang kematian ideologi pada dasarnya sebuah kemenangan meterialism-pragmatisme, bukan sekedar liberalisme. Artikel ini menelusuri penyelenggara keamanan dalam arus pusaran kematian ideologi Fukuyama itu. Tata kelola keamanan secara mondial sedang bergeser ke arah privat sebagaimana didikte liberalism. Sulit dihindari hadirnya kegamangan, bagaimana menempatkan polisi pada ruang ideologi baru ini. Perdebatan bahwa polisi tidak dirancang untuk berdemokrasi dalam tugasnya, ia adalah penegak hokum tak pernah selesai. Pendapat yang debatable, apakah benar tidak ada diskusi, kompromi, dan tawar menawar dalam melakukan tugas penegakkan hukum. Diskursus yang paling intens nampaknya pada dimensi nilai guna sebagai konsekwensi dari utilitarianisme. | 9-14 |
Radikalisme Keagamaan: Peningkatan Kemitraan Polri dan Masyarakat | Peningkatan radikalisme keagamaan banyak berakar pada kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran, denominasi, bahkan sekte di dalam (intra) satu agama tertentu. Di kalangan Islam, radikalisme keagamaan dengan ideologi kebencian itu banyak bersumber dari pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong dan ad hoc terhadap ayat-ayat al-Quran. Pemahaman seperti itu hampir tidak memberikan ruang bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok Muslim lain yang umumnya moderat dan karena itu menjadi arus utama (mainstream) umat. Dalam banyak kasus radikalisme dan anarkisme keagamaan, aparat keamanan (Polri) sering mendapat kritik dari masyarakat seolah melakukan pembiaran. Padahal Polri merupakan salah satu kunci terpokok dalam prevensi dan represi konflik dan kekerasan bernuansa agama. | 15-21 |
Kebebasan Beragama dan Pemolisian di Indonesia | Kondisi warga masyarakat dalam menjalankan ibadat agama dan kepercayaannya tidak bertambah kondusif, justru cenderung tidak terkelola secara baik. Selain koordinasi antar instansi pemerintah yang berkompeten dalam menyelesaikan masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan lemah, aparat keamanan khususnya Polri juga cenderung gagap atau digagapkan dalam mengatasi masalah konflik agama yang muncul dalam bentuk konflik antar umat berbeda agama (interreligion), konflik antar aliran dalam tubuh satu agama (sectarian), kekerasan yang dilakukan oleh Laskar atau Milisi yang berafiliasi ke suatu agama tertentu, dan aksi terror yang melibatkan simbol dan idiom keagamaan. Padahal kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi warga masyarakat itu tidak hanya memiliki jaminan konstitusional dari dalam negeri akan tetapi juga dari internasional. Di negara yang menganut demokrasi, polisi sebagai salah satu alat negera tidak sekedar sebagai penjaga ketertiban keamanan masyarakat semata, tetapi juga sebagai kekuatan masyarakat sipil (civil society) untuk menjaga keselarasan hubungan antara pemerintah dengan warganya. Sistem kepolisian dan sistem pemerintahan memiliki hubungan yang bersifat resiprokal. | 22-28 |
Beyond The Call of Duty : Masih Adakah Saat Ini? | Sebagai organisasi dengan ciri paramiliter, personel Polri hanya menjadi salahsatu instrumen organisasi yang harus siap ditempatkan dimana saja, kapan saja dan untuk tugas apa saja. Merupakan kemewahan di Polri sekarang untuk bicara mengenai bekerja melebihi panggilan tugas. Konon, semua sekarang bekerja seadanya saja, tak mau ambil resiko dan juga tak mau dikatakan sok pahlawan. Iklim kerja di Polri yang cenderung tidak memihak personel akan menyurutkan moral kerja dari cukup banyak personel berusia muda yang masih idealis dan berapi-api guna mengadakan perubahan. Sulitnya membangun organisasi polisi yang personelnya sehari-harinya terekspose dengan kehidupan masyarakat secara amat kental. | 29-32 |
Koordinat Sosiologis Polisi dalam Alam Kemerdekaan yang Reformatif | Perubahan sistim politik dan kenegaraan segera akan mempengaruhi posisi Polisi dalam suatu negara. Posisi dimaksud terkait dengan hubungan polisi dengan masyarakat, polisi dengan negara maupun pemerintahan, polisi dengan lembaga pemerintah lainnya, cara-cara polisi mengatur dirinya sendiri dan cara-cara polisi melakukan tugasnya. Dalam konteks hari kemerdekaan, refleksi ini menjadi relevan bagi Pimpinan Polisi di segala lini untuk memahami betapa kompleks Fungsi, Tugas dan Peranan Polisi di satu pihak dan sikap polisi di lain pihak yang akan menyatu dalam pengayunan kinerja polisi mulai dari top manajemen sampai dengan tingkat pelaksana. Penyesuaian ini menjadi suatu keniscayaan, dalam upaya polisi untuk tetap membangun partnership dengan semua pihak, dan menghindarkan diri dari perpolisian yang sangat protagonis. | 33-38 |
Pancasila di Tengah Intoleransi dan Gejala Lemah Negara | Negara dapat terlemahkan dan tidak mampu menjalankan fungsinya secara optimal ketika lembaga tersebut tidak didukung oleh instrumen yang memadai. Tetapi, negara dapat pula jatuh pada situasi yang sama ketika kepentingan partikular mengendalikan arah penyelenggaraan negara. Salah satu esensi keberadaan negara adalah memang persoalan ketundukan terhadap hukum, yang untuk itu negara diperlengkapi dengan kewenangan untuk mendayagunakan instrumen (seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman). Dalam hal ini, kekuatan suatu kekuasan negara ditentukan oleh kemampuan negara untuk merencanakan dan menerapkan kebijakan serta untukj menegakkan hukum secara bersih dan transparan. Gejala lemahnya penegakan hukum berpotensi secara sistematis menggerogoti tatanan demokrasi. Ketika kebangsaan kita terancam oleh kehendak partikular, reaktualisasi Pancasila menjadi suatu kebutuhan mendesak. | 39-46 |
Pemolisian dan Kesejahteraan Sosial | Penegakan hukum harus dimaknai sebagai penerapan asas-asas hukum sebagai pedoman dalam menerapkan peraturan. Asas hukum yang terutama harus dipahami secara kritis adalah bahwa penghukuman merupakan upaya akhir (ultimum remidium). Atas ini mendukung dilaksanakannya penegakan hukum yang berorientasi kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai tujuan dari kemerdekaan bangsa tidak dapat dilepaskan dari konsep kejahatan. Secara umum konsep kejahatan dapat dikatakan berhubungan dengan keadaan tidak terwujudnya kesejahteraan sosial pada tingakat individu, kelompok, maupun bangsa. | 47-51 |
Analysis of Europol's Critical Susccess Factors and The Potencies of Aseanapol as Regional Cooperation Against Transnational Crime | In addition to giving various positive impacts, globalization has also allowed criminal activities to spread globally. The complexity of the trans-boundary has also increasingly intensifiead. Moreover, no single national jurisdiction alone has been able to intervene the whole process of transnations crimes. Therefore, international cooperation is absolutely required. Despite its limitations, regional law enforcement cooperation provides some advantages in the efforts to deal with the transnational crimes. This paper provides an analysis based on some academic reviews over a number of critical success factors of Europol if compared to the limitations and the potencies of ASEANAPOL as a regional effort to deal with transnational crimes. Considering some different conditions of the two regions, this paper argues Europol demonstrates a number of strength points which can potentially be implemented by ASEANAPOLin addressing transnational crime. | 52-61 |
Kemiskinan Fantasi pada Narasi Kisah Polisi : Kajian Teoritik Konvergensi Simbolik dan Citra Polisi | Tulisan ini secara sederhana ingin memberikan kontribusi nyata upaya peningkatan citra polisi hanya lewat fantasi kisah-kisah yang dimiliki lembaga tersebut. Pola narasi yang apik mampu menyekap, menggiring dan membuat orang takluk pada apa yang disebutkan dalam pesan-pesan yang diagendakan dalam kisah tersebut. Tentu saja tidak mudah apalagi yang ditokohkan di sini adalah pemimpin di tampuk puncak. Keuntungan terbesar memiliki kisah tersebut adalah penguatan pada organisasi secara internal yang mampu memompa semangat kinerja dan etos bekerja (bagi lingkungan internal), sedangkan bagi lingkungan eksternal adalah penciptaan citra positif organisasi. | 62-70 |
Matinya Hukum dalam Proses Penegakan Hukum di Indonesia | Matinya hukum bukan berarti bahwa tidak ada hukum, matinya hukum adalah hukum dipaksakan untuk berlaku. Undang-undang menjadi pembenar sebuah kejahatan dan pelaksanaan undang-undang berubah menjadi mayat hidup, robot dan mesin dengan remote control. Hukum harusnya tidak semata-mata mengandalikan legalitas formal yang sarat dengan proses proseduralnya yang selalu mengejar kepastian hukum. Akan tetapi juga harus mampu melihat secara holistik terhadap berbagai persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah kehidupan. Artinya, bahwa hukum tidak hanya sebatas sebagai suatu sistem aturan tetapi juga hukum sebagai suatu sistem nilai. Sehingga disamping adasnya kepastian hukum, juga tidak terlepas dari nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. | 71-84 |
Sinergi Penanganan Terrorisme dalam Koordinasi BNPT Menggerakkan Potensi Bangsa dan Peran TNI di Dalamnya | Penanganan Terrorisme pada dunia yang bergejolak dalam berbagai pertetangan yang ekstrim adalah sebuah keniscayaan dan sebuah realitas. Indonesia sebagai sebuah negara dimana bermain berbagai kepentingan dan isme, tidak terlepas dari kondisi yang sama. Penanganan yang terlalu berorientasi pada pendekatan war model akan dapat merusak demokrasi dan hak-hak dasar warga negara. Berbagai potensi bangsa seyogianya digerakkan dalam payung hukum negara. Aktor-aktor yang memiliki potensi dan tanggung jawab harus bekerjasama dalam koridor hukum yang menghargai hak-hak warga negara dan HAM. Pemerintah melalui BNPT dengan segala kewenangannya seyogianya berupaya memastikan keberhasilannya mengenai hal ini, dengan mengoptimalkan pemanfaatan seluruh aktor yang relevan dalam berbagai tahapan penanganan terorisme. | 85-89 |
Keberhasilan Indonesia Memulangkan Teroris Umar Patek | Semula banyak pihak yang meragukan kemampuan Indonesia untuk memulangkan teroris Umar Patek, karena antara Indonesia dan Pakistan tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Kendati demikian, tidak dengan sendirinya tertutup peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan Patek. Sebab, keputusan ekstradisi akan ditentukan oleh pertimbangan Pakistan dan kemampuan masing-masing negara untuk meyakinkan Pakistan. Hubungan baik (comity) dengan Pakistan tentu juga akan menjadi pertimbangan. Karena itu sejak awal Pemerintah Indonesia harus bisa merumuskan sejauhmana kepentingan tersebut, apakah sekedar menghukum atau untuk mengetahui jaringan yang terkait dengan teroris kelas kakap itu. Dalam doktrim hukum pidana internasional terdapat asas audedere aupunere yang berarti: pelaku kejahatan internasional diadili di negara tempat kejahatan itu dilakukan. Jadi jika merujuk pada doktrim tersebut, maka Patek seharusnya diadili di Indonesia. | 90-98 |
Polisi & Polisi Tidur : Sosok Penyelamat yang Nasibnya Selalu Dihujat | Polisi tidur atau disebut juga sebagai Alat Pembatas Kecepatan adalah bagian jalan yang ditinggikan berupa tambahan aspal atau semen yang dipasang melintang di jalan untuk pertanda memperlambat laju/kecepatan kendaraan. Keberadaan polisi tidur ini sebenarnya meiliki maksud yang cukup baik dan barguna yaitu dapat membantu untuk mengingatkan para pengendara jalan yang mengatuk agar tersadar kembali dan lebih waspada serta mengingatkan para pengemudi untuk memperlambat laju kendaraannya agar tidak membahayakan orang lain. Namun, sama dengan polisi sebenarnya, polisi tidur sering juga ikut dihujat, karena menggangu kenyamanan pengemudi. Tentu ada harapan agar kehadiran polisi tidur tidak lagi memiliki konotasi yang negatif, dan justru berbalik menjadi positif, dimana masyarakat menjadi tahu, mengerti dan memahami bahwa kehadiran polisi, termasuk polisi tidur bermanfaat bagi keselamatan. | 98-104 |
Kontribusi Polsek dalam Pencapaian Grand Strategy Polri | Proses reformasi yang telah dan sedang berlangsung menuju masyarakat sipil yang demokratis membawa berbagai perubahan di dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Polri yang saat ini sedang melaksanakan proses reformasi untuk menjadi Civilian Police (Kepolisian-sipil), harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigma, dari yang semula menitik beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan) menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan kemitraan dalam memecahan permasalahan sosial. | 104-134 |