Jurnal Studi Kepolisian Edisi 078, Januari-April 2013 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Studi Kepolisian Edisi 078, Januari-April 2013
Informasi Detil
Volume |
Edisi 078, Januari-April 2013
|
---|---|
Penerbit | Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian : jakarta., 2013 |
ISSN |
0216-2563
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Menakar Democratic Policing di Indonesia | Kegagalan rezim demokrasi dalam mengendalikan reformasi di lembaga kepolisian adalah karena minimnya keterlibatan institusi politik semacam parlemen dan masyarakat sipil. Ini paling tidak terjadi pada pemerintahan Vincente Fox yang terpilih sebagai presiden Meksiko pada tahun 2000. Persoalan reformasi kepolisian Meksiko secara kontras berbeda dengan kebanyakan sejumlah Negara rezim demokrasi. Secara demografis Indonesia jauh lebih kompleks dari Meksiko, dengan populasi yang jauh lebih besar. Pelajaran berharga dari kasus Meksiko, Presiden Fox yang demokratis justru kalah oleh kepolisian yang berkolaborasi dengan kartel obat bius itu. Fox kalah secara sosiologis tapi tidak secara moral. | 9-14 |
Pemolisian Demokratis : Suatu Kerangka Teoritis | Kemajuan dari demokrasi menuntut demokratisasi dari kekuatan state. Kekuatan ini sangat penting karena merupakan investasi untuk menjaga ketertiban. Barangkali tidak ada institusi lain adalah lebih sentral bagi keberhasilan pembangunan bangasa demokratis dibanting polisi. Institusi penegak hukum yang lain berperan untuk membuat menjaga ketertiban kompatibel dengan tatakuasa demokratis. Studi-studi tentang demokratisasi cenderung tidak berkosentrasi untuk menyatakan bahwa menjaga ketertiban adalah syarat untuk terlaksananya penghormatan pada kepastian hukum, tanggung jawab terhadap publik, transparansi pengambilan keputusan, penggunaan kekuatan minimum, serta pembelajaran hak asasi manusia da sipiil, serta demokrasi internal dalam organisasi. | 15-32 |
Valuable Crime Prevention Initiatives : Case of Indonesia | The dilemma of crime prevention versus crime suppression is the perspective used. There will be some headings dedicated to disclose initiatives or programs that exist and relate to crime prevention mecganism within society. Indonesia is known as a country with abundant local and traditional values and mechanism. Of around 600 hundreds tribes and ethnicities, each has their own culturally specific and unique attributes, starting from languages, clothes, dances, rites of passage, childrens upbringing to traditional house. Also worth noted is the prevalence of local values and mechanisms which directly and/or indirectly relate to the security of people. Security industry in Indonesia is now growing due to the increasing dynamics of Indonesian economy, especially in big cities. Not only the police is evertwhere, but security personnels working for private companies too. The Indonesians are now awaiting for whether positive situations or initiatives regarding crime prevention efforts will win or lose. | 33-39 |
Moralitas Dalam Bingkai Profesionalisme Polri : Ironi Antara Pentidik Polri dan Penyidik KPK di Mata Masyarakat | Polri merupakan simbol dari penegakan hukum yang ada di Indonesia dan juga laksana hukum yang sedang berjalan, sehingga peran Polri hampir sama dengan peran hati nurani yang ada didalam hati setiap manusia. Polri dapat mengawasi dan mengendalikan masyarakat untuk berbuat sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun dalam implementasi tugas Polri sering menimbulkan benturan kepentingan, karena dalam satu waktu yang bersamaan, anggota Polri dituntut untuk dapat melakukan dua peran yang banyak bertentangan. Sebagai seorang pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, anggota Polri diharapkan dapat bertutur kata dan berperilaku yang baik, memiliki budi pekerti yang luhur dan berhati nurani. Sebagai penegak hukum, anggota Polri diharapkan dapat menegakkan hukum tanpa pandang bulu demi memberikan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. | 40-50 |
Menjawab Perkembangan Situasi Keamanan dengan Mengembangan Model Perpolisian Masyarakat | Sejalan dengan prinsip-prinsip masyarakat madani (civil society), kebutuhan untuk mengedepankan prinsip desentralistik, memfokuskan pada pemecahan permasalahan, melibatkan dan memberdayakan masyarakat dan menyingkirkan pendekatan yang otoriter. Dalam penyelenggaraan fungsi kepolisan, pergeseran paradigma tersebut mendorong pengembangan konsep civil police (kepolisian sipil). Dalam perkembangannya, mulai diadopsi model perpolisian komunitas yang menekankan pada kemampuan pencegahan kejahatan oleh warga masyarakat sendiri. Di Indonesia setelah sebelumnya dilaksanakan Siskamwakarsa, kini telah dikembangkan Community Policing ala Indonesia yang dikenal dengan Polmas. Dengan mengefektifkan Polmas dan mengembangkannya sebagai kebijakan dan strategi bersama Polri, Pemerintah dan masyarakat akan memberikan jaminan pemecahan sebagian besar permasalahan keamanan. | 51-58 |
Dimensi Politik Lingkungan Organisasi Polri | Dalam melakukan konsolidasi secara internal dan strategi untuk meminimalisir goncangan (curbing) lingkungan organiasasi POlri yang akhir-akhir ini cenderung bersifat politis. Thesis yang diajukan pada tulisan ini adalah bahwa lingkungan organiasasi Polri bersifat sangat dinamis dan bermuatan kepentingan. Solusi yang linear untuk curbing terhadap dinamika lingkungan organisasi Polri bukalah merupakan solusi yang optimal. Reviu bergai literatur tentang organisasi menunjukkan dua perspektif umum tentang organisasi. Perspektif pertama memusatkan pada internal organisasi dan kedua memusatkan entitas organisasi sebagai satu kesatuan. Namun, meskipun lingkungan organisasi Polri mempunyai karakteristik dinamis dan multi dimensi, organisasi Polri tidak dapat mengambil keputusan di luar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi yang digunakan, organisasi Polri tidak bisa meniadakan atau menghentikan dinamika lingkungan politik organisasi Polri. | 59-67 |
Penguatan Administrasi Publik: Polri dan Pengelolaan Keamanan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia | UUD 1945 hasil amandemen kedua pada Pasal 30 ayat (4) secara tegas menyebutkan kepolisian sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakan hukum. Fungsi itu diperkuat lagi dalam UU No. 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun, beberapa kalangan mengkhawatirkan bahwa otoritas itu tidak lagi di Polri. Gejala ini, dapat dilihat dari adanya keasan bahwa otoritas itu tindak lagi di Polri. Gejala ini, dapat dilihat dari adanya kesan bahwa Polri melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi kekerasan, termasuk konflik horizontal, yang marak terjadi akhir-akhir ini. Jika dicermati secara dalam pendapat itu juga tidak sepenuhnya benar. Jika ditelisik lebih dalam, sikap Polri demikian karena tidak lepas dari sikap Negara sendiri yang tidak pernah atau alpa dalam mencari solusi yang tepat dalam membangun relasi Polri dan masyarakat dalam kerangka penguatan Administrasi Publik dalam pusaran transisi demokrasi di Indonesia saat ini. Penguatan Administrasi Publik yakni dengan membuat Polri menjadi kompeten dan otoritatif tanpa merusak nilai partisipasi demokratif dan nilai pertanggungjawaban. Selain itu penguatan administrasi publik juga dikembangkan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang align dengan kepentingan masyarakat, yang kondusif membangun demokrasi di Indonesia yang bermantabat. | 68-73 |
Polisi versus Demonstran: Bertanah Air Satu, Indonesia (Sebuah kajian Ideologi) | Setelah pemerintahan Orde Baru, karena dibukanya kran demokrasi oleh Presiden B. J. Habibie pada 1998, demonstrasi semakin marak. Walau terkadang melanggar etika, namun Pemerintah benar-benar konsekuen dalam pelaksanaan pasal 28 UUD 45. Yaitu hak mengemukakan pendapat. Di lain pihak, kepolisian dituntut untuk menjaga kemanan dan seringkali berhadapan langsung dengan demonstran yang emosional terkadang anarkis. Karena kedua belah pihak, sama-sama mempertahankan ideologi yang dianutnya, maka tentulah satu sama lain berseteru demi menegakkan ideologi tersebut. Benarkah media sebagai pemberi berita juga harus menegakkan ideologinya? Dan memegang kunci keamanan dan perdamaian dalam memberitakan berita tersebut. | 74-81 |
Dilema Polisi dalam Menghadapi Vigilante Berjubah Agama | Arapat Kepolisian kita selama ini boleh dibidang hebat dan sigap dalam menghadapi kelompok-kelompok teroris di negeri ini. Mereka juga perkasa dalam menghadapi aksi-aksi demonstrasi para mahasiswa dan kaum buruh. Namun, mengapa polisi lemah ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok vigilante berjubah agama yang kerap beraksi anarkis? Ada beberapa faktor yang dapat diajukan sebagai kemungkinan penyebabnya. Yang terutama adalah kekeliruan polisi dalam mempersepsikan para vigilante itu sebagaio umat beragama mayoritas yang disegani. | 82-87 |
Korupsi dan Perubahan Budaya Organisasi Polri | Korupsi di Indonesia dianggap bukan hanya sebagai gejala, melainkan juga sebagai budaya. Penyebab korupsi di tubuh kepolisian di Indonesia diyakini sebagai bentuk kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh dari mencukupi, anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta penjatuhan hukuman dari atasan. Korupsi di kepolisian merupakan persoalan yang tidak kunjung usai dan sudah menjadi rahasia umum dimasyarakat. Bahkan, kondisi ini juga diakui oleh kalangan internal kepolisian sendiri. Persoalan sistem dan budaya dalam organisasi Kepolisian memang sangat kompleks. Maka, perubahannya pun harus bersifat resiprokal dan secara paralel. Perubahan sistem birokrasi di lingkungan Polri dipengaruhi oleh sistem tata nilai organisasi, sistem tata politik negara, dan sistem penegakan hukum, kode etik dan profesi serta pengaruh kuat budaya masyarakat. | 88-93 |
Konstruksi Realitas Pers Terhadap Kejahatan dan Polisi (Analisis Kejahatan Pemerkosaan dan Pemerasan di Angkutan Perkotaan di Jakarta) | Media massa berkemampuan membentuk gambaran dan apa yang hendak dipikirkan oleh audiens dan pemirsa tentang sesuatu atau apapun. Dengan demikian logikanya insan pers sangat berpengaruh dalam membentuk gambaran yang ada di masyarakat. Kriminalitas kerap digambarkan keliru oleh insan pers karena ada kepentingan-kepentingan ekonomi politik di dalamnya. Tulisan ini ingin menunjukkan dengan luas konstruksi yang dibuat oleh insan pers dengan mengambil satu kasus yaitu kejahatan kasus pemerkosaan dan pemerasan yang terjadi di Angkutan Kota. Dalam kasus tersebut jelas ada pembalikkan keberpihakan pada pemberitaan kepada pelaku kejahatan dan polisi dianggap sebagai pihak yang kaku dan tidak bisa menjunjung asas keadilan. | 94-104 |
Polisi, Kepolisian & HIV/AIDS di Indonesia | Diawali dengan suguhan paparan riset mengenai laki-laki yang memiliki mobilitas tinggi di Jayapura Papua, di mana responden profesi polisi termasuk yang diwawancarai. Artikel ini mencoba memperlihatkan kaitan erat antara polisi, kepolisian dan HIV/AIDS di Indonesia. Berangkat dari persoalan-persoalan mengapa masalah penanggulangan epidemi HIV harus dilakukan secara integral dan bersama-sama dengan semua pihak, bagian pertama tulisan ini akan memetakan persoalan transmisi HIV, sebagai bagian dari IMS (infeksi menular seksual) dengan segala akibatnya dalam konteks kerja polisi bila tidak tertangani. Selanjutnya dibahas mengenai hal-hal apa yang bisa dilakukan di dalam domain kepolisian. Bagian kedua akan menjelaskan suatu arah baru secara global mengenai penanganan penanggulangan HIV yang inovatif, dengan mengikutsertakan peran polisi dan kepolisian di dalamnya, bertumpu pada pengalaman penanganannya di tempat lain. | 105-112 |
Dilema Kebijakan Pembinaan Terpidana Penjara: Antara Teori dan Praktik | Polemik pada pemberitaan yang berhubungan dengan kriminalitas dan sempat mengemuka yaitu mengenai pemberian grasi oleh Presiden RI kepada terpidana mati kasus penyeludupan Narkoba, Meirika Franola alias Ola. Pro kontra tentang pengurangan hukuman maupun grasi terhadap pengedar narkotika dan terhadap koruptor berhubungan dengan persepsi khalayak terhadap efektivitas penghukuman. Pemikiran positivisme mempercayai bahwa penghukuman akan berdampak pada keadaan penjeraan (deterrence) terhadap narapidana. Namun hasil penelitian menunjukkan efektivitas pembinaan narapidana justru lebih efektif, sehingga untuk yang berperilaku baik diberikan remisi atau grasi. Namun semangat ini ternyata mendapat tentangan. Berbagai dilema tersebut harus segera diakhiri dengan adanya keputusan yang konstitusional atau yang dibuat berdasarkan hukum yang berlaku dan didukung oleh teori yang relevan. | 113-117 |
Persepsi Polri Terhadap Tindak Kekerasan yang Dilakukan oleh Ormas | Kekerasan yang dilakukan oleh Berbagai organisasi massa, telah menimbulkan berbagai tanggapan dikalangan masyarakat. Tanggapan mulai dari sekedar sinisme sederhana terhadap Polri, sampai kepada tuduhan bahwa Polri memberikan perilaku kekerasan itu dengan berbagai alasan. Pada sisi lain di kalangan Polri sendiri terdapat berbagai persepso sekaligus kesadaran mengenai sebab dan alasan serta pandangan tentang hal tersebut. Persepsi dimaksud bila dikelompokan mulai dari rasa ragu-ragu karena ketidak tahuan secara profesional sampai kepada masalah-masalah manajemen maupun suasana demokrasi yang agaknya belum terkendali sesuai nilai demokratis. | 118-131 |
Pengaruh Strategi Komunikasi Humas dalam Media Sosial Twitter terhadap Peningkatan Reputasi Di Institusi Polri (Studi Pada Follower Twitter DIvisi Humas Mabes Polri) | Reputasi buruk yang sudah terlanjur melekat dalam tubuh Polri seringkali menjadi hambatan bagi Polri dalam menjalankan tanggungjawabnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh humas Polri untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kredibilitas dan kinerjanya adalah dengan menjalin komunikasi yang efektif kepada publik melalui penggunaan media sosial, khususnya twitter. Reputasi yang baik memang terbentuk dari proses komunikasi yang teratur dan terarah. Namun untuk menciptakan komunikasi yang efektif, humas tidak cukup hanya mempertimbangkan penggunaan media komunikasinya saja, lebih dari itu humas perlu melakukan perencanaan keseluruhan strategi komunikasi. Strategi komunikasi ini diperlukan oleh humas untuk membimbingnya dalam mengambil keputusan dan menjadi pedoman dalam menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan. | 132-141 |