Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 4, Agustus 2011 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 4, Agustus 2011
Informasi Detil
Volume |
Volume 8 Nomor 4, Agustus 2011
|
---|---|
Penerbit | Mahmaka Konstitusi : jakarta., 2011 |
ISSN |
1829-7706
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Menegakkan Hak Beragama di Tengah Pluralisme | Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penolakan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dibaca sebagai penguatan terhadap eksistensi yuridis yang berhubungan dengan hak kebebasan beragama. Berbagai bentuk penodaan dan pelecehan agama seperti kekerasan atas nama agama atau radikalisme agama yang terjadi di Indonesia bukanlah disebabkan oleh produk yuridis di era orde lama atau produknya bersifat darurat, tetapi lebih disebabkan oleh komplikasi permasalahan seperti ketidakadilan, disparitas, dan ketidakberdayaan. | 427-452 |
Penanggulangan Pornografi Dalam Mewujudkan Manusia Pancasila | Ketentuan mengenai larangan pornografi diatur dalam instrumen hukum nasional dan instrumen hukum internasional. Secara khusus diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Pornografi yang keberadaannya dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 yang menolak permohonan uji mental terhadap UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi karena melihat undang-undang ini masih dibutuhkan untuk melindungi moralitas masyarakat. Larangan pornografi juga sejalan dengan sila ke-2 Pancasila yang menginginkan manusia yang beradab. Namun, keberadaan aturan tersebut belum efektif dalam menanggulangi pornografi, apalagi dengan keberadaan internet yang dapat memperluas dan mempermudah akses pornografi. Oleh sebab itu diperlukan upaya penanggulangan pornografi dalam membentuk manusia Pancasila. | 453-478 |
Konstitusionalisme Dan Hak Asasi Manusia | Konstitusi bukan segala-segalanya. Konstitusi tidak sekaligus mengandung paham konstitusionalisme. Konstitusi belum tentu konstitusionalisme. Walaupun paham konstitusionalisme diturunkan (derive) dari konstitusi, dan dalam perkembangannya bahkan mendorong keberadaan constitutional state, esensi konstitusionalisme mengagas pembatasan kekuasaan negara. Constitutionalisme atau konstitusionalisme membangun the limited state, agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal tersebut dinyatakan serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi. | 479-488 |
Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama Dan Beribadah Dalam Negara Hukum Indonesia | Dalam Sila Pertama Pancasila diakui Tuhan YME, yang bermakna kewajiban setiap manusia di Indonesia menghormati agama dan kepercayaan orang lain, karena merupakan hak setiap orang untuk memilih, memeluk, dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara bebas tanpa mengalami gangguan dan juga tanpa menggangu pihak lain. Hal tersebut berarti tidak hanya larangan proselytism yang tidak etis, tetapi juga larangan melakukan penodaan dan penyalahgunaan agama di dalam negara RI untuk melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal yang diatur dalam Sila Pertama Pancasila tersebut menjiwai pasal-pasal dalam batang tubuh (Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29) yang mengatur mengenai hak atas kebebasan beragama dan beribadah, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pembatasan terhadap kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau keyakinan seseorang menurut Pasal 18 ayat (3) ICCPR hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain; dan pengaturan dalam Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 memenuhi kriteria pemberlakuan pembatasan terhadap kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau keyakinan seseorang, dimana yang dibatasi adalah dalam pelaksanaan ajaran bukan dalam berkeyakinannya, berdasarkan hukum, serta untuk melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat agar tidak terjadi kerusuhan dalam masyarakat. | 489-520 |
Pengawasan Peredaran Barang Cetakan, Due Process Of Law Dan Hak Atas Kebebasan Mengeluarkan Pendapat | Kewenangan Jaksa Agung RI untuk mengawasi peredaran barang cetakan pada dasarnya tidak bertentangan dengan prinsip due process of law, asas perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pemaknaan ketiga prinsip tersebut harus dihubungkan dengan dasar falsafah hak asasi manusia di Indonesia, cita hukum, nilai-nilai, dan pandangan hidup yang terkandung dalam lima sila Pancasila, yang menekankan pada keseimbangan dan keserasian antara hak dan kewajiban. Dalam konteks Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, persoalan yang muncul bukan terletak pada keberadaan norma hukum dalam Pasal tersebut, tapi lebih pada prosedur atau tata cara agar norma hukum tersebut dijalankan, dalam hal ini pelarangan suatu barang cetakan, yang tidak transparan dan akuntabel, serta tidak sesuai tiga prinsip dimaksud | 521-550 |
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara Dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan Dalam UU Sisdiknas Dan UU BHP | Konstitusi Indonesia telah mengamanatkan tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, negara bertanggung jawab atas pendidikan seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam konteks globalisasi, melalui WTO dan GATS, Indonesia telah diarahkan menuju liberalisasi pendidikan. Liberalisasi pendidikan terjadi melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur otonomi institusi pendidikan milik negara, memaksimalkan peran serta masyarakat dan meminimalkan peran negara, penyeragaman format Badan Hukum Pendidikan bagi seluruh institusi pendidikan, dan membuka peluang masuknya institusi pendidikan asing dalam dunia pendidikan Indonesia. | 551-578 |
E-Voting: Kebutuhan vs. Kesiapan (Menyongsong) E-Demokrasi | Seiring dengan keberhasilan sistem e-voting dalam pemilihan pemimpin di tingkat desa di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, yaitu Pemilihan Kepala Dusun (Kelihan Banjar Dinas) di Desa Yehembang, Desa Pohsanten, Kecamatan Mendoyo dan di Desa Perancak, Kecamatan Jembrana dengan menggunakan sistem e-KTP, membuka kesempatan baru bagi Indonesia untuk menggunakan metode tersebut dalam pemilu mendatang. Namun, dengan tetap mempertahankan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kesempatan kepada daerah yang belum siap terhadap e-voting untuk tetap menggunakan pemilu konvensional dengan mencontreng atau mencoblos. | 579-604 |
Hak Kemerdekaan Menulis Buku Menuju Pencerahan Edukasi Masyarakat | Vonis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan jenis putusan istimewa. salah satu jenis vonis yang dijatuhkan hakim MK adalah mengabulkan permohonan pemohonan. Dalam kasus gugatan pemohon terhadap UU No. 4/PNPS/1963, MK mengabulakan permohonan pemohon. Oleh hakim MK, produk yuridis ini dinilai bertentangan dengan konstitusi. Vonis ini dapat dikategorikan sebagai pendorong atau pemotivasi secara edukatif, yang seharusnya disambut secara positip oleh pilar-pilar negara. Subyek yang dimotivasi untuk menjadi mujtahid layaknya hakim MK adalah komunitas pembelajar seperti guru, mahasiswa, dosen, peneliti, budayawan, dan pecinta ilmu pengetahuan untuk menjadi kreator-kreator di bidang perbukuan. Dengan kondisi ini, diharapkan terwujud pencerahan edukasi masyarakat. | 605-630 |