Jurnal Konstutusi Volume 9 Nomor 1, Maret 2012 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Konstutusi Volume 9 Nomor 1, Maret 2012
Informasi Detil
Volume |
Volume 9 Nomor 1, Maret 2012
|
---|---|
Penerbit | Mahkamah Konstitusi : jakarta., 2012 |
ISSN |
1829-7706
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Mahkamah Konstitusi Dan Kontrak Outsourcing | Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menjadikan kedaulatan rakyat tetap pada pemegangnya, tidak lagi diwakili dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti ketika dulu dianut sistem ketatanegaraan supremacy of parliament. Kedudukan dan hubungan antara negara dan rakyat pun dalam perspektif konstitusional makin jelas. Oleh karena itu, manakala terjadi persoalan konstitusional (constitutional dispute) harus tersedia forum ajudikasi. Itulah Mahkamah Konstitusi, yang didesain secara konstitusional untuk menyelesaikan persoalan kontitusional dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelesaian sengketa konstitusionalitas norma dalam pengaturan kontarak outsourcing Undang-Undang Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi, Untuk kasus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dengan putusan yang menyatakan "perjanjian kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65 ayat (7) dan dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan secara konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). | 1-26 |
Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang Dan Jalan Mencapai Keadilan Konstitusional | Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang lahir pasca perubahan UUD 1945 (1999-2002), membawa berubahan yang fundamental dalam upaya mengawal kontitusionalitas norma mekanisme pengujian konstitusional bukan hanya sekedar menguji, namun juga bekenaan dengan mencari esensi dari pengujian kontitusional tersebut dan kaitannya dengan hak konstitusional. Sehingga putusan ultra petita yang kerapkali diputus oleh MK tidak perlu dianggap sebagai sesuatu hal yang aneh, namun merupakan upaya untuk mengawal keadilan. | 27-48 |
Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia | Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar perekonomian Indonesia, di dalamnya mengandung prinsip paham kebersamaan dan asas kekeluargaan. Oleh karena itu dalam pembangunan hukum ekonomi Indonesia Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Sifatnya memaksa, sehingga dalam perundang-undangan bidang ekonomi dinyatakan bahwa mengutamakan kemakmuran masyarakat banyak, bukan kemakmuran orang-orang. | 49-82 |
Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mewujudkan Fair Equality Of Opportunity di Indonesia (Analisis Putusan Nomor 117/PUU-VII/2009) | Melalui putusan nomor 117/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi menerapkan konsepsi keadilan Rawls yang menekankan kepada kesetaraan bagi semua orang dengan menerapkan fair equality of opportunity atau equal opportunity principle. Desain kelembagaan antara DPR dan DPD dilihat Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah inequality condition, sehingga dalam mencapai sebuah nilai keadilan equal opportunity principle harus didahulukan dan diprioritaskan. Penguatan DPD diperlukan untuk memperkuat mekanisme checks and balances di Indonesia. | 83-112 |
Dilema Pengujian Undang-Undang Ratifikasi Oleh Mahkamah Konstitusi Dalam Konteks Ketetanegaraan RI | Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam hal penguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional menjadi persoalan tersendiri dalam sistem penegakkan konstitusi di Indonesia. Keterikatan (binding) pemerintah terhadap perjanjian internasional dilakukan atas dasar ratifikasi yang dilakukan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Presiden dalam bentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan Indonesia baru mengakui hukum internasional setelah adanya adopsi khusus terhadap perjanjian internasional. Adopsi khusus ini dibentuk dengan peraturan hukum setingkat undang-undang. Oleh karena berbentuk undang-undang, maka menjadi persoalan tersendiri apakah undang-undang ratifikasi ini dapat dikategorikan ke dalam hierarkis peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga berimplikasi pada dilakukannya judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. | 113-134 |
Pengakuan Negara Terhadap Hak-Hak Politik (Right To Vote) Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 47-81/PHPU.A-VII/2009) | Hak Konstitusional merupakan hak dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia tidak terkucuali bagi masyarakat adat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai hukum adatnya. Seringkali hukum adat berbeda dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia tetapi itu tidak menjadi alasan untuk menafikan hukum adat pada masyarakat adat di suatu daerah. Masyarakat adat di Yahukimo adalah salah satu contoh bentuk masyarakat adat yang masih menggunakan hukum adatnya dalam berbagai pola kehidupan, oleh karena itu pada pelaksanaan pemilu sekalipun mereka menggunakan hukum adatnya sendiri dak tidak berpedoman pada UU Pemilu. Noken adalah cara mereka dalam melaksanakan pemungutan suara. Konstitusional Noken dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi sebagai suatu nilai budaya. | 135-162 |
Politik Legislasi Menentukan Demokrasi (Analisis Putusan No. 15/PUU-IX/2011) | Tidak semua produk yuridis sejalan dengan aspirasi masyarakat. Ada beberapa produk yuridis yang dinilai oleh masyarakat berlawanan dengan penegakan demokrasi. Putusan No. 15/PUU-IX/2011 yang dijatuhkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) ini merupakan koreksi pada kinerja penyusun atau pembuat UU kalau produk hukumnya bernilai kontra demokrasi. Selain itu, putusan MK terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 ini juga sebenarnya dapat dibaca sebagai bentuk peringatan keras dari MK terhadap para pembentuk atau penyusun peraturan perundang-undangan, khususnya yang mengatur masalah Partai Politik supaya kinerjanya dimaksimalisasikan dan ditransparansikan, serta mempertimbangkan legalitarianisasi di masa mendatang. | 163-188 |
Tafsir Konstitusional Pelanggaran Pemilukada Yang Bersifat Sistematis, Terstruktur dan Masif | Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani sengketa Pemilukada menciptakan terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif (STM). MK tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan. Sebagai penelitian yuridis normatif, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan historis serta sosiologi hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sepanjang 2008-2011 MK telah mengabulkan sengketa Pemilukada sebanyak 32 (tiga puluh dua) perkara. Dari jumlah tersebut yang bersifat STM sebanyak 21 (dua puluh satu) perkara. Sedangkan sifat TSM dalam putusan-putusan tersebut terbagi menjadi 2 (dua) yaitu kumulatif dan alternatif dimana keduanya dapat membatalkan hasil Pemilukada. Terdapat 3 (tiga) jenis pelanggaran dalam Pemilukada, pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada. Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilukada, Ketiga, pelanggaran terakait persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur. Pelanggaran Pemilukada yang bersifat TSM merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat struktual, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilukada secara kolektif bukan aksi individual, direncanakan secara matang (by design) dan dampak pelanggaran ini sangat luas bukan sporadis. | 189-230 |