Jurnal Konstitusi Volume 9 Nomor 2, Juni 2012 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Konstitusi Volume 9 Nomor 2, Juni 2012
Informasi Detil
Volume |
Volume 9 Nomor 2, Juni 2012
|
---|---|
Penerbit | Mahkamah Konstitusi : jakarta., 2012 |
ISSN |
1829-7706
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Politik Hukum Perekonomian Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 | Pasal 33 UUD 1945 Republik Indonesia mengatur tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pikiran dan ide para pendiri dalam menyusun Pasal tersebut dapat ditelusuri melalui studi Hukum Politik. Penelusuran dilakukan dengan menggunakan pendekatan historis untuk mengeksplorasi ide-ide dari perumus saat menyusun pasal tersebut. Pikiran dan ide-ide dari perumus menjadi obyek analisis dalam tulisan ini. Antara lain: pertama, keseriusan negara dalam menlindungi seluruh bangsa dan tanah air berdasarkan konsep kesatuan dalam upaya nyata untuk mewujudkan keadilan sosial, kedua, konsep Kesejahteraan Sosial dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan kepada negara/pemerintah dan seluruh rakyat, ketiga, para perumus yang berkomitmen dan yakin bahwa cita-cita keadilan sosial dalam perekonomian dapat mencapai kemakmuran yang adil; keempat, perumus mensyaratkan bahwa negara hanya melakukan pemeliharaan (bestuursdaad) dan proses (beheersdaad), bukan berpemilik (eigensdaad). | 243-258 |
Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas Barang Tambang | Kegagalan-kegagalan yang ditunjukkan negara-negara yang berideologi liberal kapitalis individualistik (negara hukum klasik) dan yang berideologi sosialis melahirkan ideologi welfare state yang berusaha mengkombinasikan asas-asas negara hukum dengan asas-asas negara sosialis yang menganut paham bahwa negara tidak lagi berfungsi sebagai instrument kekuasaan semata (instrument of power) melainkan dipandang sebagai tool pelayanan (an agency of service) dalam bentuk pembuatan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan dan pengelolaan serta pengawasan terhadap barnag tambang. Ideologi welfare state inilah yang diadopsi oleh konstitusi kita, sehingga mandat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) kepada negara yang menjadi tugas pokok pemerintah dalam mengelola barang-barang tambang membuka peluang lebar mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. | 259-286 |
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia | Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yang lazimnya disebut sebagai kewajiban adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi terletak pada sifatnya yang relatif atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara yang berada pada akhir proses perkara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, kecuali dalam hal penyelenggaraan rapat paripurna sebagaimana usulan Dewan Perwakilan Rakyat. Ini merupakan implikasi dari Pasal 7B ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. | 287-312 |
Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian | Tulisan ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan sampai sejauh mana efektivitas sistem pembuktian terbalik sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian masalah yang timbul berikutnya adalah; apakah penerapan sistem pembuktian terbalik dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi dapat mencegah atau mengurangi bahkan menghilangkan tindak pidana korupsi di Indonesia secara tuntas. Penelitian ini bertolak dari kerangka pemikiran teoritis Roscoe Pound mengemukakan Law as a tool of social engineering, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. Konsep ini dilansir oleh Muchtar Kusumaatmadja dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia menjadi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hukum harus bisa dijadikan sarana untuk memperbaharui dan memecahkan semua problem yang ada di dalam masyarakat termasuk masalah tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang harus diperbaharui adalah sistem hukum pembuktiannya, yaitu dari sistem pembuktikan yang konvensional menjadi sistem pembuktian terbalik. Tulisan ini disusun dengan metode penulisan yuridis normatif yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan baik yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuan hukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pembuktian terbalik, Kemudian hasilnya yang berupa aspek yuridis dituangkan dalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah merupakan jawaban atas masalah-masalah yang timbul di atas, yaitu : Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sampai saat ini masih tetap terjadi. Demikianlah, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 belum efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. Untuk itu perlu diterapkan pembuktian terbalik murni dengan menghindari timbulnya chaos birokrasi. | 313-332 |
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden | Keterlibatan Mahkamah Konstitusi RI dalam memeriksa dan memutus perkara impeachment Presiden secara tekstual merupakan kewajiban bukan kewenangan sehingga terjadi atau tidaknya impeachment Presiden dalam masa jabatannya akan ditentukan oleh kekuatan politik yang mendukung di sidang MPR. Seyogianya putusan yang diambil di sidang MPR didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi RI sebagai penafsir dan penegak konstitusi (constitusional court). Keadaan tersebut menyebabkan putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dilematis kerena akan ditentukan oleh kekuatan oleh kekuatan politik di sidang MPR. Selain hal tersebut, 3 (tiga) dari 9 (sembilan) hakim Mahkamah Konstitusi diajukan oleh Presiden dan 3 (tiga) lainnya dari DPR hal itu juga menjadi sangat dilematis. | 333-356 |
Prinsip Regulatory Impact Assessment dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 | Regulatory Impact Assessment (RIA) adalah suatu metode dalam penyusunan kebijakan dengan pendekatan yang diharapkan bisa mengakomodasi semua kebutuhan dalam penyusunan perundang-undangan. Metode ini berkembang pesat sejak awal tahun 2000-an dan banyak digunakan di negara-negara anggota OECD. Penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menjelaskan tentang tahapan yang dilakukan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Kajian ini membandingkan antara konsep dalam RIA dengan proses pembentukan UU dalam UU nomor 12 tahun 2011, dimana diketahui bahwa terdapat tahapan dalam RIA yang belum tercakup dalam proses pembentukan UU terutama terkait pengungkapan berbagai opsi aturan yang mungkin dipilih termasuk analisa terhadap masing-masing opsi tersebut dari segi manfaat dan biaya serta mekanisme monitoring untuk mengevaluasi keberhasilan kebijakan yang dipilih dan memberi masukan informasi untuk respon pengaturan di masa mendatang. | 357-380 |
Mengkritisi HP-3 Perspektif Konstitusi dan Pemberdayaan Rakyat (Kontribusi Teori Sosiologi Membaca Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010) | Tulisan ini bertujuan mengkritisi kontradiksi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) terhadap konstitusi dan semangat pemberdayaan rakyat. HP-3 telah menjadi norma prosedur perizinan atas pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (SDP-PPK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penelitian ini melakukan pengumpulan data melalui studi pustaka dan menggunakan metode kualitatif untuk melakukan analisis. Temuan atas penelitian ini adalah sebagai berikut. HP-3 bertentangan dengan konstitusi. Inkonstitusionalitas HP-3 disebabkan karena mengubah SDP-PPk dari common property right menjadi property right dan mengabaikan keberpihakan kepada masyarakat rentan (masyarakat adat dan nelayan tradisional). Prinsip pemberdayaan yang signifikan untuk menghidupkan nilai konstitusi dalam HP-3 adalah pembangunan kapabilitas dan power bagi rakyat kecil. Langkah ini harus ditempuh dengan menciptakan pasal yang bermuatan affirmative action terhadap mereka. | 381-402 |
Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif Regulasi dan Implementasi | Dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, "Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif membangun masyarakat, bangsa dan negara", Pasal 28D ayat (3) yang bunyinya, "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan", seharusnya menjadi landasan untuk dijaminnya hak politik perempuan. Namun, seringkali parpol-lah yang mengabaikan urgensi keterwakilan perempuan ini. Selain ketentuan dalam UUD 1945, terdapat juga UU pemilu, Pasal 7 dan Pasal 8 CEDAW serta Konvensi Hak-hak Politik Perempuan yang kesemuanya menyuarakan bahwa perempuan memiliki gak politik yang sama dengan laki-laki. Akan tetapi, urgensi akan keterwakilan perempuan di dunia politik terhambat dikarenakan stereotip negatif terhadap kemampuan perempuan. | 403-430 |