Jurnal Konstitusi Volume 9 Nomor 3, September 2012 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Konstitusi Volume 9 Nomor 3, September 2012
Informasi Detil
Volume |
Volume 9 Nomor 3, September 2012
|
---|---|
Penerbit | Mahkamah Konstitusi : jakarta., 2012 |
ISSN |
1829-7706
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Memaknai Kecenderungan Penyelesaian Konflik Batas Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi | Adanya kecenderungan penyelesaian konflik batas wilayah di Mahkamah Konstitusi (MK) sangat menarik dikaji. Dalam analisis tulisan ini, ditemukan 3 (tiga) hal menarik yakni putusan MA tidak menyelesaikan masalah tetapi justru memunculkan masalah baru, adanya preseden putusan MK dapat "menganulir" putusan MA, dan proses persidangan MK dirasakan lebih fair dan terbuka. Dari kecenderungan tersebut muncul telah hukum baru, yakni pihak-pihak yang menjadi adressat putusan MA mendapat ruang untuk tidak menjalankan putusan MA. Celah hukum ini seolah membenarkan terjadinya tindakan melawan hukum, mengingat putusan MA memiliki kekuatan mengikat dan harus dilaksanakan. Kecenderungan ini bukanlah soal rivalitas antara MA dan MK, melainkan soal bagaimana lembaga peradilan menyuguhkan proses peradilan yang terpecaya dan diyakini oleh para pencari keadilan sehingga putusannya menyelesaikan masalah dan dilaksanakan. | 431-448 |
Ideologi Welfare State dalam Dasar Negara Indonesia: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional | Apakah tujuan negara "memajukan kesejahteraan umum" dan prinsip "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" serta mandat konstitusi untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial itu harus diwujudkan dalam bentuk negara memposisikan diri bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup yang layak bagi semua warga? Tulisan ini akan menganalisa apakah benar tafsiran ideologi welfare state pemerintah dalam Undang-Undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah melanggar konstitusi. Tulisan ini mendukung argumen Mahkamah Konstitusi bahwa program asuransi sosial yang diadopsi pemerintah adalah memenuhi kriteria konstitutional. Keberadaan kriteria konstitusional menjadikan paham negara kesejahteraan Indonesia bersifat terbuka, dan argumen ini lebih sesuai dengan konteks dan realistis terhadap kemampuan negara Indonesia untuk memberikan jaminan sosial bagi warganya. | 449-472 |
Hak Menguasai Negara Atas Mineral dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba | Mineral dan batubara merupakan salah satu potensi sumber daya alam Indonesia. Agar sumber daya alam tersebut dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia maka diperlukan kebijakan pertambangan yang berpihak kepada kepentingan ekonomi nasional. Pengalaman Indonesia selama Orde Baru menunjukkan kebijakan pertambangan lebih berpihak pada kepentingan modal asing melalui mekanisme kontrak karya yang menempatkan negara sebagai pihak yang inferior. Hak menguasai negara atas mineral dan batubara tidak terlihat dalam kebijakan pertambangan Orde Baru. Sejak diberlakukannya UU No.4 Tahun 2009, hak menguasai negara tersebut tampak melalui sistem perizinan. Selain itu peran modal nasional di sektor pertambangan juga dibangkitkan melalui mekanisme divestasi. | 473-494 |
Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan Pelembagaan Konsepsi Welfare State di dalam Undang-Undang Dasar 1945 | Konsepsi negara kesejahteraan diadopsi di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya di dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dengan menempatkan frase memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu cita negara Republik Indonesia. Setelah mengalami perubahan, UUD 1945 mengamanatkan implementasi demokrasi ekonomi,sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Di dalam demokrasi ekonomi tersebut diperkenalkan sebuah asas efisiensi-berkeadilan yang ditengarai sebagai senyawa sistem ekonomi kapasitas yang mengusung jiwa neoliberalisme. Dari analisis yang dilakukan penulis, menemukan bahwa beberapa unsur neoliberalisme telah larut ke dalam kebijakan-kebijakan hukum di bidang ekonomi Indonesia, yaitu privatisasi, aturan pasar, deregulasi, dan pemotongan pengeluaran publik. | 495-514 |
Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Presidensiil Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni | Sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Ketika beberapa konstitusi-konstitusi diimplementasikan di Indonesia di masa lalu, konsekuensi adalah ada sistem politik bervariasi. Pada 1999-2002, ada perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu tujuan adalah untuk memperkuat sistem pemerintahan Presidensiil. Diharapkan Undang-Undnag Dasar 1945 setelah diubah bisa menjadi dasar yang baik, efektif, dan terbangun sistem pemerintahan Presidensiil yang efesien. jadi ada kesadaran untuk merekonstruksi ke sistem pemerintahan presidensiil. Sejak kemerdekaan 1945 sampai masa transisi, sistem pemerintahan Presidensiil berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dilakukan secara bertentangan dengan prinsip prinsip sistem pemerintahan presidensiil karena substansi Undang-undang Dasar 1945 ditafsirkan oleh Presiden-Presiden dalam sesuai dengan tafsir mereka. Secara teoritis ada sebuah konsep baru di sistem pemerintahan Presidensiil, yakni adalah sistem pemerintahan Presidensiil murni. lika prinsip prinsip system pemerintahan presidensiil temuat dalam Undang-undang Dasar 1945, konsekuansi adalah Presiden memiliki posisi yang secara relative sama antara lembaga Negara yang ada dalam UUD. Kemudian, sistem pemerintahan Presidensiil dapat diselenggarakan secara optimal dan secara efisie, karena masing-masing dari lembaga negara, khususnya Presiden dan DPR, bisa berfokus perhatikan mereka untuk tugas-tugas dan fungsi mereka. | 515-530 |
Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional | Di berbagai negara di dunia, apalagi di negara-negara yang sudah menerapkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, Pemilu merupakan salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan demokrasi yang sekaligus juga memiliki fungsi praktis dari politik pemerintah sebagai sarana suksesi pihak yang memerintah dan pihak oposisi. Di negara-negara yang mempunyai kecenderungan menganut paham demokrasi konstitusional, proses pemilu bertujuan agar kehendak rakyat dapat diwujudkan ke dalam sebuah pola kekuasaan tanpa menggunakan kekerasan. Proses pemilu tidak hanya akan dinilai dengan berpatokan kepada kerangka hukum yang ada melainkan undang-undang, tata tertib pemilu dan pelaksanaannya pun perlu diuji dan disesuaikan apakah sudah sesuai dengan tujuan utamanya atau tidak tanpa mengabaikan hak-hak yang memiliki oleh individu maupun kelompok. Di dalam Proses penyelenggaraan pemilu, tidak selamanya proses penyelenggaraan pemilu berjalan dengan lancar. Berbagai hambatan dalam penyelenggaraan pemilu baik yang terjadi pada saat pemilu berlangsung maupun sebelumnya merupakan permasalahan yang tentunya akan berdampak luas jika tidak segera diselesaikan dengan baik. Adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu yang berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap keputusan penyelenggaraan pemilu atau pelanggaran-pelanggaran pidana maupun administratif yang mempengaruhi hasil pemilu itulah yang lazim disebut dengan sengketa pemilu. Agar sengketa pemilu tersebut tidak mengganggu jalannya sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintahan dari suatu negara atau wilayah tertentu, maka diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang efektifserta dapat memberikan keputusan yang adil bagi para pihak yang berkepentingan. Permasalahannya adalah bagaimana tolok ukur dari suatu mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang efektif tersebut? Sebab, jika ditilik lebih lanjut dan berkaca pada negara-negara demokrasi di dunia, tidak semua negara-negara demokrasi terutama yang melandaskan hukumnya pada supremasi konstitusi, memiliki mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang sama antara negara yang satu dengan negara yang lain. Wawasan mengenai hal ini sangat penting gunanya, karena dengan mengetahui ukuran keefektifan suatu mekanisme penyelesaian sengketa pemilu, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pemiliihan mekanisme penanganan suatu sengketa pemilu yang tepat guna, tepat sasaran serta memberikan keadilan bagi para pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya. | 531-562 |
Konsep Negara Berbasis Hak sebagai Argumen Justifikasi Pengujian Konstitusionalitas Undang-undang | Artikel ini berpendapat bahwa argumen substantif untuk memberikan justifikasi bagi pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah konsep negara berbasis hak dan konsep konstitusi berbasis hak. Pengujian konstitusionalitas undang-undang didasari oleh pemikiran bahwa HAM memiliki kedudukan superior terhadap badan legislatif. Dalam menjalankan kekuasaan untuk membentuk undang-undang makan badan legislatif harus menghormati HAM. Dengan argumen demikian maka penulis menolak argumen hirarki peraturan perundang-undangan sebagai justifikasi pengujian konstitusionalitas undang-undang karena argumen ini sulit diberlakukan bagi Inggris dan Israel yang tidak memiliki konstitusi formal atau undang-undang dasar. | 563-582 |
Konstitusionalitas Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara Pidana | Indonesia merupakan negara majemuk dengan keanekaragaman di dalamnya. Sebagai negara menerapkan positivistik dalam perspektif hukum, Indonesia menerapkan kodifikasi hukum yang memiliki adagium paling poluler: kepastian hukum. Adagium itu dapat mereduksi hukum adat yang diyakini oleh masyarakat adat. Artikel ini mengupas tentang kemungkinan penerapan hukum pidana dalam susdut pandang hukum adat di tengah kemajemukan budaya Indonesia. | 583-596 |