Judul | Abstract | Halaman |
---|
Constitutional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia | Diadopsinya mekanisme constitutional question dalam sistem peradilan konstitusi (constitutional adjudication) adalah sebagai bagian dari pemberian perlindungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Perlindungan demikian merupakan syarat yang tak dapat ditiadakan dalam setiap negara hukum (yang demokratis). Bagi Indonesia, yang juga hendak mewujudkan kehidupan bernegara yang demokratis dan sekaligus negara hukum, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945, mempertimbangkan untuk mengadopsi mekanisme constitutional question bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Bahkan, secara logis, justru suatu kebutuhan. | 1-20 |
Imunitas Negara Asing Di Depan Pengadilan Nasional Dalam Kasus Pelanggaran HAM Yang Berat Kosekuensi Hukum Jus Cogens Terhadap Imunitas Negara | Pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia telah terjadi di banyak negara. Hampir semua jenis tindakan yang membahayakan (mengancam) yang tercantum di dalam hukum internasional malah dilakukan oleh negara-negara asing yang memiliki kekebalan hukum. Berdasarkan perkembangan terhadap hukum internasional menunjukkan bahwa pada satu sisi, segala tindakan yang melanggar hak asasi Manusia adalah dilarang (tidak benar berdasarkan hukum) dan memiliki status berbagai jus cogens, sesuatu yang baku berada di bawah hukum internasional. Meskipun demikian, hak kebal hukum yang dimiliki oleh suatu negara asing juga sekaligus dibenarkan. Hukum internasional tidak secara tegas dan jelas mengatur hukuman (konsekuensi hukum)/norma jus cogens terhadap kejahatan/pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Beberapa pengadilan nasional mengenali/mengakui/mengakui/menerima hak kekebalan hukum beberapa pada negara asing dengan argumen-argumen hukum yang logis. Namun demikian, beberapa negara lain menolak adanya kekebalan hukum yang dimiliki oleh beberapa negara asing. | 21-40 |
Precautionary Principle Under The Sanitary And Phytosanitary Agreement In The Transferring Of Genetically Modified Organisms (GMOs): A Critical Analysis | Produk pertanian hasil rekayasa genetika baik yang berupa produk makanan maupun tanaman yang akan dibudiyakan telah masuk dalam perdagangan internasional. Expor dan impor produk tersebut dapat menyebabkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia maupun lingkungan. Oleh karena itu, Sanitary and Phytosanitary Agreement, salah satu perjanjian dalam Organisasi Perdangan Internasional (World Trade Organisasion) telah mengadopsi prinsip kehati-hatian (precautionary principle) untuk mengatasi dampak negatif perdagangan internasional terhadap kehidupan manusia, hewan, tanaman, dan kesehatan. Namun demikian pengimplementasian prinsip kehati-hatian dalam Perjanjian Sanitary and Phytosanitary Agreement kurang efektif, karena perjanjian Sanitary and Phytosanitary tidak menyebutkan prinsip kehati-hatian secara implicit. Selain itu, perjanjian ini merupakan perjanjian perdagangan internasional dan bukan perjanjian perlindungan kesehatan dan lingkungan. | 41-60 |
Penegakan Hukum Dan Putusan Peradilan Kasus-Kasus Illegal Logging | Penelitian/penelusuran materi ini menunjukkan/membuka fakta bahwa keputusan hukum terhadap kasus penebangan hutan ilegal yang dilakukan pada pengadilan wilayah maupun pengadilan tinggi telah memunculkan/menimbulkan tak hanya kontradiksi di dalam pejabat/pegawai hukum itu sendiri, tetapi juga membawa kontroversi pada masyarakat umum. Masalah ini tak hanya muncul/terjadi karena ketidakkonsestenan sudut pandang normatif pada jaksa penuntut dan hakim terhadap isu penebangan hutan ilegal dan proposal/proyek anti korupsi, tetapi juga akibat lemahnya integritas moral dari aparat hukum yang memiliki hubungan baik/dekat dengan oknum pelaku penebangan hutan liar/ilegal. Maka penting untuk diwujudkannya/didirikannya/dilaksanakannya perundang-undangan/aturan hukum yang kuat dalam kasus/masalah penebangan hutan ilegal ini. Kompleksitas permasalahan yang terjadi dalam kasus penebangan hutan liar/ilegal ini juga disebabkan oleh beberapa masalah lain, seperti kurangnya kewaspadaan masyarakat lokal, jaksa penuntut umum, serta hakim yang biasanya lebih menggunakan pendekatan hukum secara administratif ketimbang menggunakan sistem hukum yang integral, yang berakibat pada gagalnya perwujudan aturan hukum dan kontrol yang efektif terhadap kasus maupun pelaku dari penebangan hutan liar/ilegal. | 61-84 |
Akomodasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura Mengenai Penyelesaian Carok Dalam Hukum Pidana | Penelitian ini difokuskan pada persoalan akomodasi nilai-nilai budaya masyarakat Madura mengenai penyelesaian perkara carok dalam hukum pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum non-doktrinal dengan wawancara dan observasi sebagai data primernya. Sedangkan analisis data bersifat induktif dan kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa akomodasi nilai-nilai budaya masyarakat Madura mengenai penyelesaian perkara carok dilakukan dengna merubah konsepsi hukum pidana menjadi hukum publik "berdimensi privat" khusus terhadap pembunuhan yang disebabkan oleh pembelaan harga diri. Perubahan tersebut menjadikan mediasi penal dalam perkara carok atas dasar nilai-nilai badaya masyarakat Madura diakomodir dalam hukum pidana melalui pidana melalui adopsi sebagian prinsip traditional village or tribal moots model, victim-offender mediation model, dan community panels or courts model yang sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura. | 85-102 |
Dampak Konversi Dalam UUPA Terhadap Status Tanah Adat Di Bali | Penwaran/perjanjian dari konversi UUPA (Dasar HUkum Agraria), di satu pihak ditujukan pada adanya jaminan terhadap kepemilikan tanah yang sebelumnya masih diragukan kepemilikannya, terutama ditujukan pada mareka yang memiliki tanah secara turun temurun atau hanya diwariskan saja tanpa adanya bukti kelengkapan surat atau dokumen hukum yang berlaku. Konversi (Baik Nama), di sisi yang lain dapat mempengaruhi kepemilikan beberapa tanah yang secara tradisional masih berstatus dimiliki secara hak. efek lain adalah tugas masyarakat dan agama dalam bentuk "ayahan" yang telah terlampir pada tanah sebelum dihilangkan dan diubah menjadi kepemilikan privat/pribadi. Selain itu, pembagian tanah tradision akan menjadi berkurang, dan malah akan membahayakan penduduk desa itu sendiri. Permasalahan baru ini yang sepertinya baru akan disadari, seperti yang terjadi pada kasus sengketa kepemilikan tanah di Bali yang masalahnya pun masih berlangsung hingga saat ini, dan juga dapat dilihat di beberapa daerah dan wilayah-wilayah tradisional di Bali. | 103-118 |
Perda Bernuansa Syariah Dan Hubungannya Dengan Konstitusi | Sejarah hukum menemukan bahwa praktek dari pemeriksaan/penelusuran/pengambilan kebijakan ulang yang berlaku dalam hukum telah lama dikenali oleh masyarakat Muslim yang dimulai sejak periode pemerintahan Nabi Muhammad SAW beberapa tahun yang lalu, lama sebelum praktek ini dilakukan oleh John Marshall dari Amerika Serikat dalam Pengadilan TInggi Amerika Serikat di tahun 1803, pada kasus keputusan konstitusi "writ of mandamus" yang di-file-kan/dicatat oleh Marbury. Pengadilan TInggi Amerika Serikat mendeklarasikan "Judiciary Act" (tindakan administratif hukum ) untuk melawan keberadaan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Amerika Serikat. Nabi Muhammad SAW diperingati oleh Allah SWT terhadap ucapannya yang menyatakan keberatannya menggunakan madu sebagai obat aladah melawan/tidak sesuai dengan Quran. Al-Quran itu sendiri adalah hukum yang tertinggi di dalam Islam. Dalam istilah Perda Syariah, tidak boleh ada keberatan atau keengganan selama hal itu sejalan lurus dengan ayat-ayat Quran, dan tidak diragukan lagi bahwa Perda seharusnya dipertimbangkan juga di dalam UUD 1945. | 119-142 |
Pandangan Hukum Islam Terhadap Anak Hasil Zina yang Dilahirkan di dalam Perkawinan | Perkawinan wanita hamil akibat zina itu diperbolehkan dan dianggap sah di Indonesia berdasarkan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam, dan status anak yang dilahirkan oleh para pelaku kawin hamil pun merupakan anak sah dan mempunyai kedudukan dan hak yang sama seperti anak sah dimata hukum. Tetapi dalam hukum Islam tetap memberi batasan keabsahan seorang anak dengan memperhitungkan lamanya janin dalam kandungan yaitu minimal 6 bulan dihitung setelah perkawinan kedua orangtuanya. Apabila kurang dari 6 bulan, anak tersebut tidak dapatkan dinasabkan dengan ayahnya. Tetapi jangan kebolehan untuk melakukan kawin hamil dijadikan sebagai kemudahan dan pembenaran untuk melakukan perzinaan di luar perkawinan karena bagaimanapun juga Allah SWT sangat mengutuk perbuatan zina. | 143-168 |