Judul | Abstract | Halaman |
---|
Masalah kejahatan HAM berat di Indonesia | Sama dengan negara-negara lain yang berada dalam proses transisi dari pemerintahan yang tadinya otoriter menuju (belum tiba) ke suatu pemerintahan yang demokratis yang lazimnya disebut juga negara hukum, maka Indonesia pun mengalami setumpuk masalah khas dalam era transisi, antara lain; praktek kotupsi yang sudah sangat memblukar dan sistemik serta warisan kasus Kejahatan HAM (Hak Asasi Manusia) Berat yang sebagian besar belum tuntas. Padahal sudah menjadi konsep tujuan dari masyarakat transisi manapun di dunia, untuk menuntaskan warisan masa lalu dan sepenuhnya menghadapi dan masuk ke masa depan yang jauh lebih baik. | 1-7 |
Pelanggaran HAM berat: Istilah, terminologi, dan sejarah | Ketika Pelanggaran HAM ini semakin kompleks telah menjadi maka timbulah pelanggaran HAM yang digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat muncul untuk menggambarkan dahsyatnya akibat yang timbul dari perbuatan pidana tersebut terhadap raga, jiwa, martabat, peradaban, dan sumberdaya kehidupan manusia. Tindak kejahatan tersebut dilakukan oleh pelakunya dengan maksud (intent) dan tujuan yang jelas untuk menyerang dan menghancurkan orang orang tertentu atau sekelompok manusia sehingga membawa akibat atau dampak yang luas. | 8-22 |
Kejahatan hak asasi manusia yang berat | Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi (a) kejahatan genosida dan (b) kejahatan terhadap kemanausiaan (vide Pasal 7 UU No. 26/2000). Pada penjelasan pasal 104 (1) UU No. 39/1999 memberikan rincian tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/ extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). | 23-37 |
Kejahatan hak asasi manusia berat dan penerapannya dalam sistem peradilan di Indonesia | Berbagai kasus yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap HAM masih timbul berbagai penafsiran, utamanya tentang pengertian yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat serta elemen-elemennya, termasuk dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban komandan atau atasan. Implikasinya agak menyulitkan para penegak hukum untuk menerapkannya sebagaimana dalam kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia apakah dalam kasus-kasus yang terjadi di Timor-Timur setelah paska jajak pendapat maupun yang terjadi di Abepura-Papua dan Peristiwa Tanjung Priok Desember 1984. Sehingga banyak pandangan dari kalangan yang tidak puas atas penanganan pelanggaran HAM yang berat di Indonesia sejak dibentuk Komisi HAM, bahkan ada yang berpendapat sebaiknya dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). | 38-57 |
Tanggungjawab atas pelanggaran berat HAM dalam hukum dan praktek di Indonesia | Hukum yang berlaku surut (nonretroactivity) (pasal 28 i), merupakan pertentangan dari Pasal 43 Undang-undang No. 26 Tahun 2000. Memang dalam International Customary Law seperti yang diatur dalam International Covenant on Civil and Poltical Rights (ICCPR), dinyatakan bahwa setiap orang tidak dapat diadili oleh hukum yang berlaku surut. Namun dalam pasal yang sama juga dinyatakan bahwa ke tentuan tersebut tidak dapat dipergunakan untuk membebaskan seseorang yang telah melakukan kejahatan menurut hukum internasional. Tetapi persoalannya di sini bukan soal boleh atau tidaknya hukum dapat berlaku surut dalam kasus pelanggaran berat HAM, melainkan ancaman terbesar adalah soal tata urutan perundang-undangan (hierarcy of norm). | 58-80 |
Alternatif penyelesaian pelanggaran HAM | Di antara rezim-rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi dan konstruksi demokrasi, banyak yang berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran HAM. Tiga puluh lima negara yang menandatangani Persetujuan Helsinki pada tahun 1975 misalnya, telah menyatakan niat mereka agar pada dekade terakhir dari abad ke-20 sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan didorong untuk mempertimbangkan penyebarluasan nilai-nilai HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental dalam kurikulumnya. | 81-94 |
Kejahatan terhadap kemanusiaan: Dari keterbatasan substansi hukum ke kelemahan penerapan hukum | setahun (Desember 2004 -Oktober 2005) setelah melalui beberapa tahapan kegiatan seperti riset dan diskusi dengan berbagai instansi dan praktisi dalam bidang Hukum dan HAM. Dalam Kerangka Acuan Kegiatan Pertemuan disebutkan bahwa dua naskah pedoman tersebut diharapkan akan bermanfaat untuk menjadi jalan keluar terhadap kelemahan-kelemahan substantif dan prosedural dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) Berbagai kelemahan substantif dan prosedural dalam substansi hukum (legal substance) dalam UU Pengadilan HAM dipandang telah memberikan kelemahan dalam tataran penegakan hukum HAM dan rendahnya kinerja Pengadilan. | 95-107 |