Jurnal Ilmu Politik 4 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Ilmu Politik 4
Informasi Detil
| Volume |
-
|
|---|---|
| Penerbit | Asosiasi Ilmu Politik Indonesia : jakarta., 1989 |
| ISSN |
9794035718
|
| Subyek |
Artikel Jurnal
| Judul | Abstract | Halaman |
|---|---|---|
| Analisis kebijakan publik: Masalah dan pendekatan | Selain adanya dominasi sosiologi tersebut, masih ada dua kecaman lagi terhadap behaviouralisme. Pertama, aliran itu tetap dianggap belum memadai untuk memahami politik. Untuk menjadi ahli ilmu politik, seseorang sekaligus harus menjadi ahli sejarah, pengacara, ahli filsafat moral, dan pemikir politik. Kedua, dan ini yang relevan bagi kita, behaviouralisme dianggap tidak memadai dari sudut pembuatan kebijaksanaan (policy-making) dilihat dari segi moral dan empirisnya. Kecaman terakhir di atas telah menyebabkan berpalingnya kembali perhatian para ahli ilmu politik kepada masalah kebijaksanaan publik. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya universitas di luar negeri yang membuka bidang studi Policy Studies dan lahirnya berbagai jurnal ilmiah mengenai kebijaksanaan publik. | 3-13 |
| Kekuasaan dan geraknya di dalam organisasi | Sebab lain adalah orang tidak suka berbicara tentang kekuasaan begitu dalam organisasi, karena dia dapat dianggap sebagai orang yang membawa kegaduhan atau ingin bertengkar saja. Memang hal itu ada benarnya, kalau soal kekuasaan dibịcarakan secara eksplisit dan bersifat pribadi. Tetapi masalah kekuasaan dalam organi sasi merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan begitu saja, bila kita ingin memperbaiki performance organisasi. Oleh sebab itu, memahami masalah organisasi dan kekuasaan adalah suatu kebutuhan. Bagaimana kekuasaan dipakai untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi, terlepas dari masalah pribadi. Bila kita me mahami kekuasaan dalam organisasi, kita dapat langsung mengamati serta mengendalikannya untuk memperlancar jalannya organisasi. | 14-27 |
| Indonesia dan perkembangan di Kawasan Pasifik Baratdaya | Bagi kepentingan nasional Indonesia hubungannya yang serasi dengan negara-negara di Pasifik Baratdaya akan ikut memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu Pasifik Baratdaya bukan hanya kawasan yang mempunyai prospek yang baik bagi Indonesia tetapi juga dapat merupakan sumber ancaman potensial bagi keamanan dan stabilitas nasional. Bila dulu ancaman terhadap keutuhan wilayah nasional terdapat di bagian barat Indonesia, maka semenjak tahun 1970-an ancaman tersebut telah bergeser ke wilayah bagian timur. Di wilayah inilah unsur-unsur separatis mendapatkan simpati dan dukungan negara-negara tertentu dari kawasan yang berdekatan sehingga dapat mengancam stabilitas dan keamanan Indonesia. Karena itu penelitian terhadap perkembangan keadaan, peranan, dan kepentingan negara-negara besar di kawasan tersebut dianggap perlu untuk memungkinkan Indonesia menentukan kebijakan luar negerinya, baik secara umum maupun secara khusus, terhadap negara-negara di kawasan Pasifik Baratdaya. | 31-52 |
| Islam di Indonesia: Dari minoritas politik menuju mayoritas budaya | Pada awal kelahirannya ormas-ormas Islam lebih menekankan bidang pendidikan untuk membebaskan umat dari kebodohan, dakwah guna meningkatkan pemahaman dan keagamaan Islam serta kegiatan keagamaan lainnya. Namun kemudian perkembangan ormas Islam tak terhenti pada kegiatan-kegiatan semacam ini. Karena tujuan akhir dari perjuangan umat pada periode ideologi adalah terwujudnya baldatun thayyibah wa rabbun ghafur, yang dalam terminologi modern berarti negara (sejahtera), maka ormas-ormas Islam satu per satu terlibat dalam kegiatan politik praktis dengan jalan membentuk partai-partai Islam. Dengan lahirnya partai-partai politik Islam tentu saja aspirasi politik di kalangan umat dilembagakan melalui partai-partai itu, sedang ormas Islam berfungsi sebagai kekuatan sosial yang menopang partai Islam tadi. | 53-65 |
| RRC dan Uni Soviet dalam masalah Kampuchea | Januari 1988, Pangeran Sihanouk dan Perdana Menteri Hun Sen dari Republik Rakyat Kampuchea telah mengadakan perundingan. Biarpun belum ada hasil-hasil yang pasti, namun adanya pembicaraan ini telah menunjukkan sikap Phnom Penh moderat. Selanjutnya karena yang lebih ada Ä·ekuatan lain yang terlibat di sini, seperti yang telah disinggung di atas, tentu sulit dipungkiri bahwa ada tekanan, paling tidak pengaruh dari luar terhadap pihak-pihak yang bertikai dalam masalah ini untuk berunding, misalnya saja dari RRC dan US. Kedua negara tersebut nampak telah memperbaiki hubungan mereka dan telah pula menunjukkan kesediaan untuk ikut serta dalam menyelesaikan masalah Kampuchea ini. Makalah ini bermaksud mendiskusikan seberapa jauh perbaikan hubungan RRC-US ini berpengaruh terhadap penyelesaian masalah Kampuchea. | 66-77 |
| Politik reunifikasi Beijing terhadap Taipei | Kekuasaan Jepang atas Taiwan berakhir setelah pecahnya Perang Dunia Kedua (PD II) dalam mana Jepang dibom atom oleh Amerika Serikat. Sebagai negara yang kalah dalam peperangan tersebut,Jepang mengembalikan Taiwan kepada pemerintah Tiongkok dalam Konferensi di Kairo (Cairo Declaration) 1 Desember 1943 yang dihadiri oleh Presiden Roosevelt (AS), Wiston Churchill (Inggris), dan Chiang Kai Shek (Tiongkok) memutuskan bahwa semua wilayah jajahan Jepang (Manchuria, Taiwan/Formosa, Pescadores/Penghu) diserahkan kepada Tiongkok (Republik Cina). Demikian pula halnya dalam Postdam Declaration antara lain memuat keputusan mengenai penyerahan Pulau Formosa (Taiwan) kepada Jenderal Chiang Kai Shek yang waktu itu memerintah Tiongkok. | 78-92 |
| Timbangan buku: Memahami keberadaan Golkar | Bagi para pengamat politik Indonesia dengan melihat judul buku ini saja, mereka tentu sudah dapat menduga-duga ke arah mana Reeve akan membawa para pembaca bukunya ini. Sebab mereka tentu sama memahami bahwa kehadiran Golkar dalam percaturan politik telah membawa perubahan-perubahan penting bagi perkembangan politik Indonesia. Memang inilah salah satu segi yang ingin diuraikan Reeve. Walaupun demikian analisisnya tentang lahirnya ide Golkar (sic) atau golongan fungsional tetap menarik untuk diikuti. Demikian pula uraian tentang upaya militer menjadikan golongan fungsional sebagai legitimasi bagi partisipasi aktif militer dalam politik tidak kurang menariknya. | 95-104 |