Jurnal Hukum Bisnis, Volume 19, Mei-Juni 2002 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Hukum Bisnis, Volume 19, Mei-Juni 2002
Informasi Detil
Volume |
Vol. 19, Mei-Juni 2002
|
---|---|
Penerbit | Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis : jakarta., 2002 |
ISSN |
0852/4912
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Latar belakang, seja | Tujuan dari undang-undang antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap kartel atau persekongkolan bisnis. Bagaimanapun juga ide tersebut telah lahir dari hak inisiatif DPR untuk memiliki UU Antimonopoli bagi Indonesia sejak bertahun-tahun. Berkembangnya perhatian rakyat Indonesia untuk memiliki undang-undang antimonopoli disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat di Indonesia telah mencaplok pangsa pasar terbesar ekonomi nasional Indonesia dan dengan cara demikian mereka dapat mengatur barang-barang dan jasa, dan menetapkan harga-harga demi keuntungan mereka. Dengan demikian isu terpenting dari undang-undang anti-monopoli di Indonesia adalah untuk mencegah monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat serta untuk menciptakan ekonomi pasar yang efektif dan efisien demi peningkatan kesejahteraan rakyat. | 5-9 |
Antimonopoly and fair competition law No. 5 1999: Cartel and merger control in Indonesia | Keinginan untuk mempunyai undang-undang antimonopoli Indonesia telah bertahun-tahun menjadi pembicaraan umum, anggota perwakilan rakyat (DPR), dan partai politik. Sayangnya, selama bertahun-tahun pemerintahan Soeharto, inisiatif, ide, atau kehendak tersebut telah diblokade oleh rejim penguasa saat itu disebabkan bertentangan dengan kepentingan kroni Soeharto. Inisiatif DPR telah berkembang luas sesudah Habibie menggantikan Soeharto dalam suasana reformasi sosial, ekonomi, dan demokratisasi politik. Akhirnya, sebuah undang-undang antimonopoli dan persaingan usaha telah disetujui dan diundangkan oleh DPR sejak 5 Maret 1999. Undang-undang ini bertujuan untuk memfungsikan persaingan usaha yang bebas dan sehat dalam ekonomi pasar, sehingga tercipta kegiatan usaha yang efisien. Dengan cara demikian, undang-undang telah memberikan kesempatan dan peluang usaha yang sama untuk setiap pelaku usaha untuk bersaing dalam ekonomi pasar di dalam menghasilkan dan menjual barang-barang dan atau jasa seefisien mungkin, yang pada akhirnya pembeli dan pelanggan akan memilih yang terbaik di antara barang-barang dan jasa dengan harga yang pantas Undang-undang No.5, 1999 juga telah mencegah kartel dan mengontrol penggabungan (merger) yang dapat menyebabkan persaingan tidak sehat dan melarang pengambilalihan (akuisisi) yang menghasilkan kegiatan monopoli. Akhirnya, undang-undang ini bertujuan untuk menghasilkan efisiensi pada ekonomi pasar guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. | 10-13 |
Undang-undang antimonopoli dan perdagangan bebas | Menghadapi perdagangan bebas seperti AFTA tahun 2003 nanti yang terpenting adalah pertama, melakukan harmonisasi peraturan hukum atau perundang-undangan yang mengatur persaingan di tiap-tiap negara; kedua, menjalin hubungan kerja sama antar lembaga perdagangan internasional yang berkaitan dengan masalah persaingan usaha Undang-undang No.5, 1999 perlu disempurnakan terutama mengenai jangkauan Undang-undang ini terhadap pelaku bisnis yang berdomisili di luar yurisdiksi hukum Indonesia, namun melaksanakan aktivitas usahanya di Indonesia. Dalam hal ini dibutuhkan pengaturan hukum persaingan yang sesuai dengan perdagangan bebas antar negara. Pelaksanaan secara maksimal undang-undang ini sangat diperlukan untuk menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang tidak sesuai dengan persaingan sehat sehingga pada akhirnya dapat tercipta efisiensi ekonomi pasar khususnya di bidang perolehan barang dan jasa bagi konsumen. | 14-18 |
Implikasi UU No. 5 tahun 1999 terhadap hukum acara pidana | Undang-undang Antimonopoli No. 5 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 5 Maret 1999 bertujuan untuk mewujudkan iklim usaha yang sehat sehingga memberikan kepastian dan kesempatan berusaha yang sama kepada pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Undang-undang ini mempunyai tiga jenis sanksi pelanggaran terhadap persaingan tidak sehat dan pelaku monopoli yakni sanksi administrasi, sanksi pidana pokok, dan sanksi pidana tambahan. Sanksi administrasi merupakan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sanksi-sanksi lainnya merupakan wewenang hakim peradilan. Namun demikian, masih diperlukan suatu peraturan tambahan yang merujuk kepada hukum acara untuk digunakan dalam Undang-undang Antimonopoli guna menghindari pertentangan pendapat dan perbedaan penafsiran. Hampir semua ketentuan dalam Undang-undang Antimonopoli dirancang berdasarkan atas asas rule of reason sebagai landasan keputusan apakah kegiatan pelaku usaha atau kelompok usaha telah melanggar ketentuan perundangan ini. Dengan demikian, memiliki pengetahuan ekonomi dan bisnis sebaik latar belakang pengetahuan hukum adalah prasyarat yang sangat penting bagi setiap pengambil keputusan tentang antimonopoli. | 19-25 |
Antimonopoly law in Indonesia: Its history and challenges ahead | Undang-undang No.5 Tahun 1999 adalah sebuah tonggak bersejarah bagi yurisprudensi di Indonesia, sebab undang-undang tersebut telah merubah budaya hukum yang berperangai koperatif menjadi berperangai kompetitif. Sosialisasi undang-undang ini semestinya ditujukan kepada dunia usaha, aparatur pemerintah, jaksa, hakim, sarjana hukum, dan juga partai politik. Sebagian orang percaya bahwa latar belakang pengetahuan ekonomi atau pengetahuan bisnis adalah satu persyaratan penting untuk dapat memahami sepenuhnya undang-undang ini dan demi keberhasilan penegakan hukum, Sesuai dengan pasal 4 ayat (2), undang-undang ini menggunakan pertimbangan pemikiran sebagai alasan untuk menentukan apakah dua atau tiga atau kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 75% pangsa pasar dari produksi dan/atau pemasaran dan/atau jasa dari satu barang atau jasa tertentu dapat digolongkan sebagai pelaku monopoli Tujuan dan hasil dari setiap undang-undang antimonopoli, jika efektif, adalah terciptanya persaingan bebas dan sehat dalam ekonomi pasar. Sekali berhasil, mungkin dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan umum yang lebih baik meningkatkan efisiensi di antara organisasi-organisasi ekonomi dan dengan demikian memajukan daya saing ekonomi nasional. Demi keadilan, diharapkan, Pengadilan dan Komisi (KPPU) bersama-sama merumuskan standar acuan pemikiran yang menentukan apakah suatu kesepakatan bisnis atau perjanjian adalah pengekangan perdagangan atau bukan. Semua ini bukanlah suatu aturan yang sempurna, paling tidak, Pengadilan dan Komisi memiliki persepsi yang sama dalam mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi. | 26-28 |
Komisi Pengawas Persaingan Usaha: Catatan peluang masalah terhadap penegakan hukum UU No. 5 tahun 1999 | Sejak dibentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sampai saat ini KPPU telah menangani puluhan kasus dengan berbagai jenis pelanggaran terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1999, baik yang melibatkan pengusaha besar maupun menengah sebagai Pelaku Usaha yang dilaporkan oleh masyarakat. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dan Keputusan KPPU No. 5 tahun 2000 akan mengalami banyak hambatan dikarenakan pengaturannya tidak tegas, baik di tingkat penyelidikan, penyidikan maupun pada tahap eksekusi putusan Komisi. | 29-36 |
Perilaku asosiasi pelaku usaha dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 | Semangat dunia usaha yang sehat, jujur, dan fair dalam pada mereka pelaku usaha secara dalam dunia usaha tidak perilaku menuju mekanisme pasar dapat direfleksikan dalam pelaku usaha. Pelaku hanya terbatas individual melalui perusahaan tetapi juga dapat difasilitasi melalui asosiasi industri atau asosiasi bisnis mereka. Dengan telah diberlakukannya Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat No 5 tahun 1999, saat ini Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang mengatur tindakan atau perilaku itu. Tidaklah mudah untuk mengubah wacana pendekatan dalam menuju perilaku yang sehat dalam sistem ekonomi pasar. Banyak perilaku atau tindakan dahulu tidak dilarang, saat ini melalui undang-undang dapat saja dianggap suatu pelanggaran. Sering hal ini terjadi tanpa diketahui oleh pelaku usaha maupun asosisi industri bahwa tindakan demikian, apabila dapat dibuktikan mempunyai dampak anti persaingan, maka dianggap telah melanggar kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. | 37-43 |
Tantangan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia | Sebagai hukum positif, hukum persaingan usaha di Indonesia adalah hukum yang baru karena baru ada sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beberapa pengamat berpendapat bahwa UU No. 5 Tahun 1999 mempunyai banyak kelemahan. Penulis melihat bahwa adanya kekurangan pada regim hukum yang baru adalah hal yang wajar? Seperti terjadi pada undang-undang lainnya di banyak negara amandemen untuk penyempurnaan adalah juga hal wajar setelah beroperasi beberapa tahun. Akan tetapi, apabila dilihat secara utuh UU No. 5 Tahun 1999 cukup komprehensif sehingga apabila efektif akan mampu memperbaiki praktik berusaha di Indonesia. Cakupan substansinya cukup luas sehingga hampir-hampir tidak ada celah bagi pelaku usaha untuk menghindar. UU No. LO Tahun 1999 mengatur bukan hanya aspek substansi akan tetapi juga kelembagaan serta tata cara penegakannya. | 44-53 |
Persaingan bebas dalam rangka otonomi daerah | Penulis membicarakan suatu persaingan bebas dilihat dari sudut kebijakan otonomi daerah. Ia berpendapat pelaksanaan Zona Perdagangan Bebas di negara-negara anggota ASEAN akan segera dimulai tahun 2002 dan pemerintah Indonesia telah tidak memiliki pilihan lain untuk menundanya. Hampir bersamaan waktunya, pemerintah pusat sedang menjalankan kebijakan desentralisasi yang dikenal dengan istilah otonomi daerah dengan diundangkannya UU No.22, 1999 dan UU No.25, 1999. Kedua perundang-undangan ini telah memberikan ruang gerak yang cukup kepada pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan mereka termasuk dalam hal keuangan, investasi, dan sektor perdagang an. Namun demikian, ada beberapa masalah dalam kebijakan perdagangan yang nampaknya bertentangan dengan rejim persaingan bebas diantara pemerintah provinsi. Sudah pasti, pemerintah daerah provinsi mempunyai cara-cara yang berbeda dalam meningkatkan pendapatan daerah sebagaimana mereka memiliki pandangan/persepsi yang berbeda terhadap kebijakan otonomi daerah. Tetapi, penulis artikel mengatakan bahwa dalam hubungan antara persaingan perdagangan bebas dan kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah hendaklah mendukung dan mendorong pelaksanaan perdagangan bebas dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari suatu sistem pasar bebas yang memiliki ciri efisien dan profesional. | 55-62 |
Rentenir | Pinjam meminjam uang sebagaimana kreditor dan debitor adalah hal yang biasa dalam sistem perbankan. Namun demikian, dalam dunia usaha yang sebenarnya dikenal beberapa pemberi pinjaman yang disebut "rentenir" dimana kegiatan-kegiatannya serupa dengan bank tetapi tanpa peraturan yang tertulis. Rentenir biasanya menikmati tingkat suku bunga tinggi yang dipungut dari para peminjam uang (debitor) yang membutuhkan dana cash dengan cepat dan mudah untuk kegiatan usahanya. Apakah kita perlu mengatur kegiatan rentenir? Tidak seperti Pegadaian yang kegiatannya telah diatur dalam perundang-undangan, rentenir tidak memiliki peraturan yang mengaturnya, meskipun kehadiran dan peranan rentenir adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari oleh golongan ekonomi kecil dan menengah. Karena itu dianjurkan agar dibuat peraturan tentang rentenir yang mengatur kegiatan-kegiatannya dengan memperhatikan ketertiban umum, kepatutan dan keadilan masyarakat sebagaimana mengatur hal-hal apa yang boleh dan yang tidak boleh dikerjakan misalnya mengenai perizinan, perjanjian kredit, suku bunga, jaminan kredit, eksekusi agunan, dan sebagainya. | 63-68 |
Penyelesaian sengketa bisnis melalui peradilan arbitrase | Sengketa bisnis yang terjadi di antara dua pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian dagang dapat diselesaikan antara lain tidak melalui peradilan tetapi melalui suatu lembaga atau pihak ketiga sebagai wasit. Cara penyelesaian seperti ini disebut penyelesaian melalui arbitrase, sedangkan orang-orang yang ditunjuk sebagai wasit disebut arbiter. Artikel ini bertujuan memberikan gambaran secara teoretis tentang peranan arbitrase dalam membantu penyelesaian sengketa dagang secara nasional maupun internasional serta kendala yang dihadapi dalam praktik pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Penulis juga memberikan contoh-contoh kasus arbitrase di Indonesia yang pelaksanaan eksekusinya telah ditolak oleh pengadilan Indonesia. Penyelesaian melalui arbitrase mengandung beberapa keuntungan antara lain, efisiensi waktu dan biaya serta profesionalisme wasit yang ditunjuk kedua belah pihak yang bersengketa dapat merupakan faktor penting yang mendorong diterimanya keputusan yang diambil. Kendala yang dihadapi dalam praktik eksekusi putusan arbitrase asing di sebuah negara berkembang seperti Indonesia pada umumnya didasarkan atas pertimbangan asas kedaulatan wilayah. | 69-82 |
Legal certainty of surety bond in Indonesia | Surety Bond atau Surat Penjaminan Utang adalah perjanjian antara tiga Pihak yaitu pihak perusahaan penjamin, pihak pemilik, dan pihak kontraktor. Perusahaan Penjamin memberikan garansi kepada pemilik bahwa kontraktor akan melaksanakan tugas yang diberikan sesuai order. Penjaminan biasa digunakan dalam bisnis konstruksi dimana bisa jadi kontraktor umum bertindak selaku perusahaan penjamin atas perusahaan sub kontraktor yang ditunjuk atau dipergunakan dalam pelaksanaan konstruksinya. Perjanjian penjaminan merupakan suatu cara penjaminan yang lebih disukai dari pada cara lainnya untuk menjamin kinerja kontraktor atau memberikan jaminan keuangan. Penjaminan ini meliputi penyertaan tender, pelaksanaan kerja, pembayaran gaji karyawan, sub kontraktor, leveransir, dan pemeliharaan. Artikel ini membahas aspek hukum dari penjaminan utang di Indonesia khususnya bila terjadi kegagalan kontraktor dalam melaksanakan tugasnya karena bangkrut atau pailit sehingga tak dapat menyelesaikan pekerjaannya tak mampu membayar sub kontraktor, leveransir atau pegawai. Beberapa aturan main yang harus dibicarakan sebelum perjanjian penjaminan ditanda-tangani. | 83-88 |