Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23, No. 2, Tahun 2004 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Hukum Bisnis, Volume 23, No. 2, Tahun 2004
Informasi Detil
Volume |
Vol. 23, No. 2, Tahun 2004
|
---|---|
Penerbit | Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis : jakarta., 2004 |
ISSN |
0852/4912
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Urgensi undang-undang praktik kedokteran bagi masyarakat: Sebuah tinjauan | Hakikatnya, ada dua permasalahan dasar yang menjadi urgensi diundangkannya RUU Pratik Kedokteran yaitu yang pertama bagi kepentingan masyarakat luas, adalah agar masyarakat terlindungi terhadap praktik kedokteran yang eksploitatif dan tidak memenuhi etika kedokteran yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesi dokter; yang kedua, memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi profesi medis dari gugatan imaterial masyarakat yang berlebihan yang akan dapat menimbulkan ekses praktik kedokteran yang ketakutan (defensive) dan timbulnya krisis malpraktik yang merugikan citra profesi dokter. | 5-11 |
Aspek hukum dalam pelayanan kesehatan: Suatu kajian | Manusia itu sendiri disebut juga makhluk budaya yang mampu menerima isyarat yang tidak dapat ditangkap oleh makhluk lainnya. Oleh karena itu,ada pendapat yang didasarkan pada pandangan Parsons, bahwa manusia itu dikontrol oleh informasi tertentu yang diterimanya dari sumber yang tertinggi yang disebut ultimate reality, yaitu yang mengalirkan nilai yang mengontrol manusia dan kehidupan manusia dalam masyarakat. Mengontrol manusia diartikan sebagai bekerjanya arus informasi tersebut terhadap manusia sehingga timbul kesadaran membedakan antara yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat dijumpai berbagai keharusan yang membatasi dan memimpin tingkah laku manusia. Lagi pula, tidak semua keharusan yang bekerja atas diri manusia itu mempunyai kualitas yang sama. | 12-24 |
Aspek hukum komersialisasi rumah sakit swasta dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan yang berfungsi sosial | Pelayanan kesehatan menurut Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta harus melakukan fungsi sosial. Ini berarti bahwa mereka harus memperhatikan kebutuhan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin dan bukan semata-mata mencari keuntungan komersial. Kenyataannya, pada saat ini rumah sakit swasta yang berbentuk Yayasan dan Perkumpulan telah berubah dari lembaga sosial ke lembaga usaha yang berprinsip sosial ekonomis, sehingga rumah sakit dikelola berdasarkan prinsip ekonomi untuk mempertahankan keberadaannya, sejalan dengan fungsi sosialnya. Contoh rumah sakit swasta yang berbentuk Yayasan dan Perkumpulan di Yogyakarta adalah RS Panti Rapih dan RSU PKU Muhammadiyah. Dalam mensikapi kondisi seperti tersebut di atas, kedua rumah sakit tersebut mengelolanya dengan konsep subsidi silang dan dana kemanusiaan, serta mereka melakukan diversifikasi usaha, tidak hanya berusaha di bidang pelayanan medis tetapi juga berusaha di sektor lainnya. | 25-30 |
Peranan MKEK dalam konflik etika medio legal di rumah sakit | Malpraktik masih menjadi perdebatan para pihak yang terkait, sementara pasien yang menjadi korban kelalaian praktik medis semakin banyak dan bervariasi dari masyarakat awam yang tidak tahu kemana harus mengadu sampai praktisi hukum atau keluarganya. Bagaimanapun masalah malpraktik perlu segera diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang akan menjadi hukum positif dan menjadi acuan bagi para hakim dalam memutuskan perkara-perkara malpraktik di pengadilan. Meskipun ada organisasi profesi yang mempunyai wewenang memeriksa dan mengadili pelanggaran etika kedokteran, berdasarkan undang-undang dan kebiasaan yang berlaku di peradilan Indonesia, suatu keputusan publik hanya akan memiliki kekuatan eksekutorial apabila kuputusan tersebut dibuat oleh lembaga yudisial. Rancangan Undang-undang Kode Etik Kedokteran sudah lama berada di tangan Komisi Hukum DPR, namun kita tidak pernah tahu sampai kapan pembahasan RUU akan tuntas. | 31-38 |
Peran komite medik di rumah sakit dan hubungannya dengan kebijakan profesi dan mediko-legal | Komite Medik di rumah sakit adalah organisasi staf medik yang non-struktural dan independen serta memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sendiri. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan dan keselamatan pasien, menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi, membantu terlaksananya pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta mengembangkan kemampuan professional setiap anggota staf medik Kebijakan-kebijakan Komite Medik diputuskan melalui rapat gabungan Tripartit yaitu Dewan Pembina, Direktur Rumah Sakit, dan Komite Medik serta dituangkan dalam Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit untuk diimplementasikan dalam operasional sehari-hari di rumah sakit dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Namun demikian, agar kebijakan tersebut dapat dijalankan secara efektif dan efisien, ditetapkan melalui keputusan direktur rumah sakit. | 39-44 |
Bylaws masuk rumah sakit Indonesia | Hospital Bylaws atau Statuta Rumah Sakit adalah peraturan intern dan ketentuan-ketentuan yang dibuat sendiri oleh rumah sakit untuk mengatur tingkah laku atau perbuatan Peraturan intern tersebut merupakan kerangka hukum dan manajerial yang menjadi acuan bagi rumah sakit untuk mencapai tujuannya. Ketentuan tersebut mengatur tindakan tiga pelaku utama di rumah sakit, yaitu Badan Pengampu, Eksekutif, dan Staf Medik Ketiga pihak tersebut memiliki kekuasaan yang berbeda, yang secara seimbang dan harmonis diatur dalam statuta rumah sakit dalam menjalankan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. Hakekatnya Statuta Rumah Sakit bertujuan tercapainya pengelolaan perusahaan yang baik dan pengelolaan medis yang baik di rumah sakit. | 45-51 |
Politik hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia | Kebijakan Pemberlakuan juga ditemui dalam UU yang terkait dengan masalah perekonomian Undang-undang Hak Cipta dibentuk tidak sekedar untuk melindungi pencipta atas hasil ciptaannya, tetapi juga untuk memberi iklim investasi yang kondusif bagi investor asing. Amandemen terhadap UU Kepailitan dilakukan tidak sekedar untuk memenuhi Kebijakan Dasar tetapi juga untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh lembaga keuangan internasional. UU Persaingan Usaha dibentuk di samping memenuhi Kebijakan Dasarnya juga dimaksudkan untuk membuka pasar yang tertutup dari sebuah negara karena pasar tersebut didominasi oleh pelaku usaha yang dekat dengan elit politik. | 52-66 |
Relevansi undang-undang restrukrisasi utang dan penyehatan perseroan sebagai solusi alternatif penyelesaian utang perseroan | Melalui Kepailitan. Landasan kepailitan ini tertumpu pada UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh debitor maupun kreditor jika menghendaki penyelesaian utang melalui mekanisme Kepailitan. Secara umum, dalam UU Kepailitan ada dua cara yang dapat ditempuh oleh debitor untuk menyelesaikan utang. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan cara pertama dalam penyelesaian utang, sedangkan mengajukan permohonan kepailitan merupakan cara berikutnya jika PKPU tidak dapat dilaksanakan oleh debitor dengan baik. Dalam praktik, dua pola ini tidak selalu dilaksanakan secara berurutan; terkadang ada kreditor yang langsung menyelesaikan utangnya dengan mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga, tetapi ada juga yang dilakukan oleh kreditor menerima permohonan debitor untuk melakukan PKPU. | 66-70 |
Tanggung jawab pemegang saham bank dalam likuidasi | Tanggung jawab atas pelunasan utang-utang bank yang dilikuidasi pada dasarnya diambil dari kekayaan perseroan saja, sebagaimana hakekat terbatasnya tanggung jawab pemegang saham dalam badan hukum perseroan terbatas. Namun, apabila likuidasi tersebut disebabkan karena kesalahan dan itikad buruk pemegang saham dalam pengelolaan perseroan, maka pemegang saham bank harus dimintakan tanggung jawab pribadi, yakni sampai pada harta pribadi. Hal ini sesuai dengan doktrin piercing the corporate veil yang mengajarkan bahwa ada kemungkinan membebankan tanggung jawab atas pihak lain yang bukan perusahaan itu sendiri meskipun perbuatan tersebut dilakukan secara sah oleh dan atas nama perusahaan sebagai badan hukum. Tujuannya untuk melindungi pemegang saham minoritas dan pihak luar perusahaan lainnya dari kelalaian atau kesalahan manajemen perseroan dan/atau itikad buruk pemegang saham mayoritas Perseroan baik yang lahir dari transaksi dengan pihak ketiga maupun perbuatan yang menyesatkan atau perbuatan melawan hukum. | 71-77 |
Hapusbuku dan hapustagih piutang negara bank-bank BUMN | Sepanjang pengetahuan penulis pada umumnya dalam praktik, bank-bank BUMN menyerahkan "kredit macetnya" kepada PUPN setelah upaya sendiri sebagaimana dimaksud dalam "tahap pertama" sampai dengan "tahap ketiga" dilakukan namun masih ada sisa utang debitor (outstanding kredit macetnya). Cara ini ditempuh terutama menyangkut penyelesaian kredit yang tidak diikat dengan perjanjian Hak Tanggungan, Fidusia, atau Gadai, tetapi hanya dijamin dengan agunan biasa atau semata-mata berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata (jaminan yang bersifat umum karena undang-undang yang meliputi benda bergerak maupun tidak bergerak milik debitor menjadi tanggungan utangnya). | 78-82 |
Efektivitas penanganan sengketa pajak di pengadilan pajak dan di mahkamah agung | Undang-Undang No.14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus untuk menyelesaikan sengketa pajak yang timbul antara Wajib Pajak dan instansi pajak, yaitu Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Pengadilan Pajak menangani dua persengketaan, yaitu: perkara banding terhadap putusan keberatan menyangkut teknis perhitungan besarnya pajak terutang (Pasal 31 ayat 1) dan perkara gugatan terhadap sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak (Pasal 31 ayat 3). Di satu pihak Pengadilan Pajak bertujuan agar sengketa perpajakan dapat diselesaikan secara singkat, cepat, dan hemat serta memiliki kekuatan hukum sebagai landasan penegakan hukum. Namun di pihak lain, sebuah pengadilan secara filosofis dituntut untuk menghasilkan keputusan yang bukan saja memiliki kepastian hukum tetapi juga mencerminkan keadilan bagi semua pihak. Dengan demikian Pengadilan Pajak yang cenderung hanya menerapkan unsur kepastian hukum akan dapat mengurangi efektivitas penegakan hukum. | 83-86 |