Jurnal Hukum dan Bisnis, Volume 12, 2001 | Perpustakaan Universitas Bhayangakara Jakarta Raya
Advanced SearchJurnal Hukum dan Bisnis, Volume 12, 2001
Informasi Detil
Volume |
Vol. 12, 2001
|
---|---|
Penerbit | Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis : jakarta., 2001 |
ISSN |
0852/4912
|
Subyek |
Artikel Jurnal
Judul | Abstract | Halaman |
---|---|---|
Kejahatan komputer dan siber serta antisipasi pengaturan pencegahannya di Indonesia | Telekomunikasi akan melengkapi infrastruktur setiap industri dan perusahaan yang bersaing dalam pasar dunia. Bisnis telekomunikasi akan berkembang berlipat ganda kearah interkonektivitas global. Dalam proses interkonektivitas tersebut industri telekomunikasi dikombinasikan pemanfaatannya dengan telepon, televisi, komputer, dan konsumen elektronik menjadi kekuatan global, namun jika tidak hati-hati dapat menciptakan kekacauan. Dalam uraiannya lebih lanjut Naisbitt mengemukakan bahwa akan terdapat New Rules atau norma berupa Code of Conduct universal pada abad ke 21. Di sisi lain norma yang didasarkan pada ekspektasi berupa tingkah laku individual, dalam hal ini pemain terkecil di dunia yang ingin memperluas aturan ekonomi global. Sementara di pihak lain terjadi kompromi atas standar etika dan moral, hal ini terjadi dalam duapuluh tahun terakhir ini, bahkan berbagai kejahatan telah berlangsung dimana-mana. | 4-15 |
E-Commerce: Tinjauan dari perspektif hukum | E-commerce merupakan bidang yang multidisipliner (multidisciplinary field) yang mencakup bidang-bidang teknik seperti jaringan dan telekomunikasi, pengamanan, penyimpanan dan pengambilan data (retrieval) dari multi media; bidang-bidang bisnis seperti pemasaran (marketing), pembelian dan penjualan (procurement and purchasing), penagihan dan pembayaran (billing and payment), dan manajemen jaringan distribusi (supply chain management); dan aspek-aspek hukum seperti information privacy, hak milik intelektual (intellectual property), perpajakan (taxation), pembuatan perjanjian dan penyelesaian hukum lainnya. | 16-27 |
E-Commerce: Tinjauan dari hukum kontrak Indonesia | Badan pengawas juga akan berfungsi mengawasi terjadinya transaksi elektronik yang ada dalam internet, sehingga dapat diketahui nilai uang devisa yang beredar. Badan dimaksud dibentuk dan beranggotakan berbagai pakar seperti yang berasal dari bidang pendidikan, teknologi informasi, pemerintahan, dan hukum. Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan privasi pada cyberspace. Perlindungan hukum terhadap hak privasi pengguna cyberspace di Indonesia masih sangat kurang, sehingga perlu dibuatkan perangkat hukum perlindungan privasi yang lebih pasti. | 28-41 |
Sejarah hukum kepailitan di Indonesia | Mendekati abad ke-2 Masehi, perbudakan debitur telah dihapuskan oleh kerajaan Romawi. Hukuman penjara terhadap debitur masih tetap berlangsung, tetapi kreditur tidak boleh memanfaatkan debitur yang dipÄ—njarakan sebagai pelayan. Debitur hanya dapat ditahan sebagai jaminan utang sampai ada teman atau keluarga debitur melunasi utangnya. Dalam sistem hukum Indonesia yang diambil dari Belanda, lembaga menahan debitur sebagai jaminan utang juga dikenal, yaitu lembaga yang disebut Gijzeling (penyanderaan). Dalam perkembangannya, eksekusi sehubungan dengan cidera janji debitur terhadap pembayaran utangnya bukan lagi dilakukan terhadap jasmani debitur, tetapi terhadap harta kekayaan dari debitur itu. Penjualan harta debitur itu dipakai sebagai sumber pelunasan bagi utang-utang debitur kepada para krediturnya. | 4248 |
The history of bankruptcy in Indonesia | During the ancient Greeks and the Roman Republic, death, slavery, mutilation of limbs, imprisonment or exile against the debtor was the consequence for not settling his debts. Proof stating that the debtor had passed away prior to settling his debt entitled the creditor to seize the debtor corpse as debt security against the heirs until the debt had been settled. A practice of this sort was in accordance with the Roman culture at that time, due to the beliefs at the time that someone corpse should stay intact enabling the dead to successfully continue the journey to eternity. The religious values were used as incentives to obtain repayment of the debtor debts. | 49-54 |
Perspektif pengadilan niaga di Indonesia (Dampak perkembangan hukum di Indonesia) | Berkurangnya kasus kepailitan akhir-akhir ini akan dapat dijadikan sebagai tambahan alasan untuk memeperluas kewenangan Pengadilan Niaga. Penyebab kurangnya sengketa niaga/ kepailitan, karena antara lain, faktor ekonomis bahwa para kreditur menyadari belum saatnya memohon kepailitan jika nilai beli masyarakat masih terlalu rendah untuk membeli (lelang) aset pailit. Kemudian faktor sosial, karena beberapa kreditur bersikap hati-hati untuk menuntut kepailitan yang bisa berdampak timbulnya pengganguran. Yang terakhir faktor Pelayanan Hukum, bahwa proses penanganan sengketa niaga masih tergolong lamban, dan bahwa ada beberapa putusan Hakim yang terkesan kontradiktif bahkan unpredictable. | 55-60 |
Kendala-kendala prosedural dalam penerapan undang-undang kepailitan | kemajuan yang berarti, dan hal ini dirasakan sampai pada tahun 1998, saat dicabutnya peraturan kepailitan tersebut dan diganti dengan yang baru dan dibentuknya Pengadilan Niaga tersebut. Dikalangan beberapa pengamat hukum sering disebutkan bahwa dalam kehidupan yang nyata, peraturan kepailitan itu walaupun secara yuridis masih tetap eksis dalam buku-buku namun pada hakekatnya merupakan kalimat-kalimat mati belaka sebab jarang sekali diimplementasikan dan diuji penerapan hukumnya Mengingat bahwa tata-cara prosedur atau aturan main dalam proses berperkara di Pengadilan merupakan bagian yang sangat penting untuk kelancaran pemeriksaan maupun jaminan kepastian hukum bagi para pencari keadilan, maka akan diuraikan beberapa masalah yang dapat menjadi kendala-kendala dalam segi prosedur yang sedikit banyak akan mempengaruhi kelancaran proses pemeriksaan sehingga perlu dipikirkan berbagai upaya jalan keluar. | 61-62 |
Menyoroti aspek hukum kemandirian Bank Indonesia | Kemandirian Bank Indonesia, menjadi semakin penting artinya dalam rangka menghadapi arus globalisasi terutama dalam mengantisipasi berlakunya. General Agreement on Trade and Service (GATS) khususnya di bidang perbankan. Dewasa ini, selain Bank Indonesia, BPPN juga mengurusi soal perbankan. Badan ini bersifat sementara, berada di bawah Menteri Keuangan (Eksekutif). Dalam kaitan kemandirian ini, perlu dipikirkan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999, mengenai rencana pembentukan Badan Independen, paling lambat Tanggal 31 Desember 2002. Untuk itu, dalam meninjau Independensi atau kemandirian Bank Indonesia dari segi hukum, kiranya perlu diperhatikan koordinasi pengawasan sebagai konsekuensi dari kemandirian Bank Indonesia. | 63-70 |
Beberapa kasus fit and proper test | Sejak UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diberlakukan secara efektif di seluruh Indonesia pada 14 Januari 1991, ke PTUN Jakarta baru masuk 4 (empat) kasus yang menyangkut masalah Fit and Proper Tes yang dilakukan Bank Indonesia. Satu kasus sudah diputus menyangkut Direktur Utama PT Bank A yang menggugat Tergugat yang telah mengeluarkan Surat tanggal 23 Juli 1999 perihal hasil penilaian Fit and Proper Test, yang berisi pernyataan bahwa Penggugat telah melakukan perbuatan tercela dan memerintahkan Penggugat untuk melepaskan jabatan sebagai Direktur Utama dan tidak lagi bekerja pada PT Bank A selambat-lambatnya tanggal 31 Juli tahun 1999. Perkaranya masih dalam proses banding Kemudian 3 (tiga) kasus berikutnya masih diperiksa. Di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tersebut termuat alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menggugat Keputusan TUN dengan menyatakan bahwa Keputusan TUN tersebut telah : (a) bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; (b) dikeluarkan oleh Badan Pejabat TUN dengan menyalahgunakan wewenang; (c) dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN dengan sewenang-wenang. | 71-80 |
Practises designed to minimise conflicts arising out of domain name registrations recommended by WIPO: A critical evaluation | The large measure of support for the approach of introducing practices designed to reduce tension between the DNS and intellectual property rights has been reflected in the adoption of many of the practices recommended in the WIPO Interim Report in ICANN Statement of Registrar Accreditation Policy of March 4, 1999. The Final Report of the WIPO published on 30 April 1999 is now being submitted to ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers) and the member States of WIPO. | 81-88 |