Judul | Abstract | Halaman |
---|
Problematika Nalar Dan Kekuasaan | Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan yang dianggap kontroversial dan berkonotasi negatif, yaitu putusan MARI No. 36 P/Hum/2011, yang dipandang tidak memenuhi aspek prosedural dan material, jauh dari nilai-nilai kepastian dan keadilan, bahkan terdapat sinyalemen adanya konflik kepentingan. Putusan memperlihatkan kekuasaan lebih dominan daripada hakikat kebenaran itu sendiri, yang memperlihatkan masih kentalnya arogansi birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas hakim perlu mendapat perhatian utama dalam peningkatan kapasitas hakim, khususnya yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial. | 117-133 |
Ketepatan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai "Ius Cogen" Dalam Kasus Gunung Mandalawangi | Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada parat tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya pembuktian dari para tergugat. Kasus sebagaimana dianalisis dalam artikel ini bukanlah bencana alam karena kejadiannya dapat diprediksi namun para tergugat tidak menjalankan prinsip kehatihatian untuk mencegahnya. Para tergugat berdalih bahwa prinsip ini belum menjadi hukum positif di Indonesia, akan tetapi prinsip ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. | 134-153 |
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Lingkungan Hidup | Pihak yang paling menderita akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah para korban. Oleh karena itu setiap pihak yang melakukan kegiatan yang merugikan korban harus bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Dari kasus yang dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung masih berfokus pada pelaku kejahatan (offender) sebagai fokus utama dari sanksi pidana. Dengan hanya menjatuhkan pidana pada diri pelaku, dalam hal ini direktur PT DEI, sisi perlindungan terhadap korban belum diberikan. Pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup dikatakan ideal apabila korban tindak pidana lingkungan hidup juga mendapatkan perlindungan hukum berbentuk pemberian ganti kerugian maupun pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar korban mendapat perlindungan hukum yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban, adalah dengan penerapan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam tindak pidana lingkungan hidup dengan syarat-syarat tertentu. | 154-169 |
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan Dalam Kasus Gadai Yang Terindikasi "Sanra Putta" | Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis: sanra tanah) di masyarakat Kab. Bone pada kenyataannya tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, di mana pemilik barang gadai tetap berkewajiban mengembalikan uang tebusan. Begitu pula perjanjian gadai atas tanah dilaksanakan hanya secara lisan (tidak ada bukti tertulis) dan tidak adanya saksi. Lazim pula pelaksanaan gadai atas tanah kemudian berubah (diteruskan) menjadi jual beli, yang dalam istilah adat kebiasaan masyarakat setempat disebut dengan sanra putta (jual putta). Jika terjadi permasalahan hukum di kemudian hari, misalnya salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji) atau mengingkari kesepakatan yang pernah mereka lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi, sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim yang menangani kasus demikian seyogianya mencermati adanya latar belakang perjanjian demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya jual beli tanah yang disebut sanra putta. | 170-188 |
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum Yang Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara | Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa ini perkembangannya sudah sangat sistemik dengan tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tetapi juga telah merampas hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas. Salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan menetapkan ajaran "sifat melawan hukum material" dalam fungsinya yang positif ke dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang "kepastian hukum yang adil" sebagai salah satu prinsip negara hukum. Padahal dalam rangka pemberantasan korupsi, penerapan kaidah hukum dimaksud dapat dibenarkan sekaligus juga efektif. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dalam putusan No. 1247/Pid/ B/2009/PN.Bdg yang dibahas dalam artikel ini seharusnya juga menerapkan kaidah hukum tersebut, karena terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum yang harus dilakukan sehingga secara nyata telah menimbulkan kerugian keuangan negara. Hakim mempertimbangkan perbuatan terdakwa itu sebagai ingkar janji (wanprestasi) sehingga tidak dapat dituntut menurut hukum pidana. | 189-223 |
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik Melalui Sistem Peradilan Pidana | Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar rasa keadilan masyarakat kecil. Sepertinya keadilan tidak pernah berpihak kepada mereka. Keadilan lebih banyak didekati dari perspektif prosedural bukan keadilan substansial. Sebagaimana ditunjukkan dalam putusan yang dianalisis di dalam artikel ini, penjatuhan putusan untuk kasus yang terbilang "sederhana" ini akan lebih tepat jika didasarkan pada filosofi pemidanaan keadilan restoratif. Penulis yakin bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasus-kasus sederhana seperti ini. | 224-240 |