Judul | Abstract | Halaman |
---|
Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama | Pemberlakuan UU No. 1/PNPS/1965 pada dasarnya memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan beragama di Indonesia. Ketentuan hukum tersebut secara eksplisit mengatur tindakan penyimpangan, penodaan agama, juga melarang penyebaran ajaran ateisme. Dalam perkembangannya UU No. 1/PNPS/1965 ini dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 baik dari segi juridis formil maupun materiil. Permohonan pengujian undang-undang pun diajukan untuk memperjelas konstitusionalitas UU No. 1/PNPS/1965 yang justru dinilai menghambat toleransi kehidupan beragama. Isu hukum yang menarik adalah tentang hubungan negara dan agama di dalam konteks Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2). Di sisi lain, UU No. 1/PNPS/1965 juga memberikan tiga bentuk kejahatan yang sangat berpengaruh bagi hukum pidana. | 1-16 |
Penerapan Konsep Hukum Pembangunan Ekonomi Dalam Upaya Pencegahan Eksploitasi Pekerja Alih Daya | Pada tanggal 17 Januari 2012, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang melakukan uji formil dan materiil terhadap UUD 1945, telah melakukan Uji Materiil Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam amar putusannya yang tertuang di dalam Putusan Nomor 27/PUUIX/2011, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Apabila makna putusan itu kemudian ditelaah secara a quo, maka secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi menerapkan konsep ilmu hukum pembangunan ekonomi dalam upaya pencegahan eksploitasi pekerja outsourcing, sehingga terciptalah keadilan dalam hubungan ekonomi. | 17-32 |
Kewenangan Yudikatif Dalam Pengujian Peraturan Kebijakan | Berdasarkan konsep negara hukum, pemerintah melakukan tindakan pemerintahan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, dan pemerintah tidak dapat membuat peraturan perundang-undangan yang tidak didelegasikan oleh undang-undang. Pada praktiknya, berdasarkan prinsip diskresi, pemerintah dapat membentuk peraturan kebijakan. Sebagian besar ahli hukum mengkategorikan peraturan kebijakan bukan sebagai peraturan perundang-undangan dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Jika demikian, tidak terdapat lembaga peradilan yang dapat melakukan uji material karena Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi hanya dapat menguji peraturan perundang-undangan. Pada praktiknya uji material peraturan kebijakan pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi. Tulisan ini akan menganalisis putusan pengujian surat edaran tersebut, yaitu Putusan Nomor 23 P/HUM/2009. Melalui analisis tersebut akan diketahui apakah Mahkamah Agung, secara teoretis maupun yuridis, memiliki wewenang melakukan uji material terhadap peraturan kebijakan atau justru sebaliknya. | 33-47 |
Perselisihan Sociological Jurisprudence Dengan Mazhab Sejarah Dalam Kasus "Merarik" | Pada umumnya, perkawinan suku Sasak, didahului dengan proses membawa lari (merarik) calon istri. Jika keduanya saling menyukai dan tidak ada paksaan, tanpa meminta izin kepada kedua orangtua, si perempuan dibawa lari untuk dinikahi. Permasalahannya, jika orang tua keberatan dan perempuan yang dibawa lari di bawah umur, biasanya berujung pada meja hijau. Muncul perselisihan paradigma, jika pelaku merarik dijerat hukum pidana bukankah seolah-olah hukum adat tersebut identik dengan kejahatan dari kacamata hukum formal, padahal di sisi lain ia merupakan hukum yang hidup di masyarakat? Putusan hakim dalam kasus merarik tentu tidak “bebas-nilai”, disadari atau tidak, merupakan perselisihan paradigma, yakni sociological jurisprudence yang hendak merekayasa masyarakat menjadi lebih modernis dengan mazhab sejarah yang masih ingin mempertahankan tradisi dan kebiasaan lama. | 48-63 |
Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak | Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Perlakuan hukum pada anak sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius, karena anak adalah masa depan suatu bangsa. Dalam perkara pidana Nomor 50/Pid.B/2009/PN.Btg terdakwa adalah anak yang masih berumur 15 tahun, didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 jo Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Hakim menjatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya sebagaimana mestinya. Putusan tersebut tidak mencerminkan kepastian hukum bagi terdakwa serta tidak mengedepankan pemidanaan sebagai ultimum remidium. | 64-79 |
Kaidah Ilmu Dalam Selimut Keputusan Penguasa: Menguji Putusan Reklamasi Pantai Utara Jakarta | Sengketa lingkungan dalam upaya penegakan hukum administrasi selalu menarik untuk diperbincangkan. Bukan hanya karena aspek ini dianggap merupakan sarana pengontrolan izin kegiatan yang berdampak bagi lingkungan hidup, namun juga aspek ini memberikan sarana untuk menguji aspek ilmiah yang berbalut kaidah normatif pemberian izin. Kasus Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara
Jakarta dapat dikatakan menjadi suatu sengketa yang berjalan dalam dimensi waktu yang lama (2003 – 2011), padahal objek sengketa yang dipertentangkan merupakan hasil kajian ilmiah yang bertahan secara ilmiah tidak lebih dari hitungan bulan semata. Dalam tulisan ini terdapat beberapa hal utama yang penulis tengahkan. Pertama, menelisik lebih dalam hakikat dari AMDAL itu sendiri. Kedua, upaya hukum yang tersedia dalam hal tidak puas dari hasil penilaian AMDAL. Terakhir, mengkaji pemahaman para jurist terhadap AMDAL serta baik dalam dimensi ekologis maupun dimensi yuridis. | 80-94 |