Judul | Abstract | Halaman |
---|
Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi | The most serious crime adalah satu-satunya kejahatan yang bisa digunakan oleh negara yang masih ingin mempertahankan hukuman mati. Karakteristik the most serious crime dalam hukum internasional di antaranya: tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan; Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya; Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius terhadap negara atau masyarakat luas. Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menimbulkan luka berat atau matinya orang sebagai the most serious crime tidak sesuai dengan hukum internasional. Hasil penelitian ini membuktikan tidak ada hukum internasional maupun hukum nasional yang memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagai the most serious crime. | 95-106 |
Problematika Kerberlakuan Dan Status Hukum Perjanjian Internasional | Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 memberikan pencerahan kepada berbagai pihak, khususnya akademisi di bidang hukum internasional dan hukum tata negara, mengenai arti dari undang-undang pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, apakah sebagai persetujuan DPR kepada Presiden per se ataukah membuat perjanjian internasional tersebut berlaku di Indonesia. Res judicata yang disampaikan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi dengan menolak seluruh permohonan pemohon mengindikasikan bahwa undang-undang pengesahan perjanjian internasional, meskipun berbentuk undang-undang hanya merupakan bentuk persetujuan formal DPR kepada Presiden dalam kaitannya dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut, undang-undang pengesahan perjanjian bukan merupakan landasan hukum bagi berlaku perjanjian internasional di Indonesia. Kemudian, perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia hanya mengikat bagi Indonesia, bukan di Indonesia [baca: pengadilan]. Dengan demikian, undang-undang pengesahan perjanjian internasional bukan merupakan obyek pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. | 107-122 |
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara | Optimalisasi peran aktif warga negara dalam sistem demokrasi sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Konsep demokrasi langsung ini dipandang sebagai konsep paling ideal. Hanya saja dalam pelaksanaan di lapangan, peran aktif warga negara dalam setiap perhelatan demokrasi justru terbentur dalam sejumlah regulasi teknis. Salah satu regulasi yang menjadi penghambat adalah ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, harus terdaftar sebagai pemilih. Ketentuan ini kemudian dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) bertentangan dengan UUD 1945 melalui putusan Nomor 85/PUU-X/2012. Dalam putusannya MK memutuskan bahwa untuk dapat menggunakan hak pilih, maka warga negara cukup hanya menunjukkan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga di lingkungan setempat. Putusan ini patut diapresiasi dalam upaya melindungi dan menjamin hak memilih sebagai hak konstitusional sekaligus hak asasi warga negara. | 123-142 |
Menuju Sistem Pemilu Dengan Ambang Batas Parlemen Yang Afirmatif | Tulisan ini menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Putusan tersebut memuat dua hal penting. Pertama, adanya penetapan ambang batas parlemen sebesar 3,5%. Ambang batas parlemen yang seharusnya menjadi sarana untuk mengefektifkan pemilu yang berkualitas justru menjadi sarana diskriminasi bagi partai politik lainnya. Penyederhanaan partai politik kemudian diartikan sebagai pembatasan kekuasaan. Suksesi kekuasaan hanya berlangsung pada partai politik lama dan tidak akan beralih pada partai politik baru. Kedua, adanya verfikasi ulang terhadap partai politik peserta pemilu. Verifikasi kemudian menjadi permasalahan lainnya yang membuat keikutsertaan partai politik baru dalam pemilu terasa kian absurd. Verifikasi dengan menyertakan ambang batas pemilu merupakan syarat yang berat. Hal itu jelas akan menimbulkan rivalitas antara partai politik menjadi tidak kompetitif. Demokrasi menjadi kian kabur maknanya ketika kekuatan oligarkis sendiri masih berkuasa di parlemen. MK melihat adanya ketidakpastian maupun ketidakadilan hukum dalam substansi Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2012. Inkonsistensi regulasi pemilu yang eksperimental perlu diakhiri demi demokrasi. | 143-158 |
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara Atas Penetapan Parpol Peserta Pemilu | Penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilu dalam Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT atas Gugatan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menimbulkan problematik tereotis dalam teori hukum acara peradilan tata usaha negara. PKPI adalah salah satu partai baru yang didirikan oleh S yang dalam verifikasi partai politik yang dilakukan oleh KPU yang sempat dinyatakan tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Problematik secara teoretis tersebut terlihat dari konsiderasi putusan PT TUN Jakarta yang melakukan penggeseran wewenang peradilan tata usaha negara secara generik yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 jis UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 yang membatasi secara restriktif kewenangan peradilan tata usaha negara untuk menguji legalitas Keputusan Tata Usaha Negara baik yang bersifat positif maupun fiktif-negatif menjadi tindakan faktual pejabat tata usaha negara. Di sisi lain, substansi putusan PT TUN Jakarta tersebut juga terkesan justru menguji substansi UU Pemilu sebagai peraturan dasarnya terkait limitasi waktu gugatan sengketa tata usaha negara pemilu. Tidak dipenuhinya secara maksimal standar pengujian berdasarkan kebenaran material dalam sistem peradilan tata usaha negara telah membawa putusan PT TUN Jakarta tidak mampu mewujudkan tujuan peradilan tata usaha negara secara optimal. Tujuan tersebut adalah untuk memberikan keadilan administratif secara substantif dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara berdasarkan kebenaran material. | 159-172 |
Kepemilikan Hak Cipta Dalam Perjanjian Lisensi | Pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dengan imbalan berupa royalti. Pemberian lisensi tersebut dibuat dalam suatu perjanjian lisensi. Isi perjanjian lisensi tidak mengalihkan hak cipta milik pemberi lisensi kepada penerima lisensi. Salah satu contoh dari perjanjian lisensi di Indonesia adalah pemberian lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar Cap Kaki Tiga dari perusahaan Singapura Wen Ken Drug Company kepada perusahaan nasional PT Sinde Budi Sentosa. Perjanjian lisensi yang dibuat tahun 1978 tersebut kemudian diakhiri secara sepihak oleh Wen Ken pada tahun 2008 dan diikuti dengan beberapa sengketa HKI antara Wen Ken dengan Sinde, salah satunya adalah sengketa hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak. Mahkamah Agung dengan Putusan No. 104 PK/PDT.SUS/2011 memberikan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak pada Sinde selaku penerima lisensi, dan menyatakan bahwa logo tersebut merupakan ciptaan bersama antara Wen Ken, Sinde, dan BY. MA tidak mengakui Wen Ken selaku pemberi lisensi sebagai satu-satunya pemegang hak cipta atas logo tersebut. Salah satu yang menjadi dasar pertimbangan MA dalam putusannya adalah karena Wen Ken tidak memiliki bukti pendaftaran hak cipta atas logo tersebut, baik di negara asalnya Singapura maupun di negara-negara lain. | 173-188 |