No image available for this title

Ilmu Hukum S1

Jurnal Yudisial Volume 6, Nomor 3, Desember 2013

Informasi Detil

Volume
Volume 6, Nomor 3, Desember 2013
Penerbit Komisi Yudisial Republik Indonesia : jakarta.,
ISSN
1978-6506
Subyek

Artikellllll Jurnal

JudulAbstractHalaman
Perspektif Mahkamah Konstitusi Tentang Hak Asasi ManusiaPerspektif Mahkamah Konstitusi tentang Hak Asasi Manusia yang dapat dibaca melalui tiga putusannya, yaitu: Putusan Nomor 065/PUU-II/2004; Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak secara konsisten menggunakan satu perspektif dalam mempertimbangkan dan memutus kedudukan suatu undang-undang. Pada satu putusan menggunakan perspektif universal, tetapi pada putusan lain menggunakan perspektif partikular. Perspektif universal menyatakan HAM berlaku universal untuk semua orang di manapun dan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Setiap manusia memiliki hak asasi yang tidak boleh diingkari dan dicabut kecuali dengan keputusan hukum yang adil. Sebaliknya perspektif partikular menyatakan HAM tidaklah universal, tetapi kontekstual bahwa tiap-tiap bangsa memiliki keunikan sendiri-sendiri yang mengakibatkan nilai universal sebagai suatu kebohongan, yang ada hanyalah bersifat kewilayahan dan ketaksengajaan (contingent). Dalam putusan-putusan tersebut ketidakkonsistenan ini terjadi lebih karena dipengaruhi oleh sensitivitas sosial politik dari materi undang-undang yang diuji dan bukan karena objek dari hak yang diuji.189-206
Makna Upah Proses Menurut Mahkamah Konstitusi Dibandingkan Dengan Beberapa Putusan Mahkamah AgungPasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 menarik untuk melihat implementasi dari putusan tersebut. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah memutuskan frase “belum ditetapkan” pada Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap. Bagaimana sikap Mahkamah Agung atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut? Berdasarkan analisis yuridis dari beberapa putusan kasasi Mahkamah Agung mengenai perkara perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja dalam kurun waktu tahun 2011 sampai dengan 2013 ditemukan beberapa permasalahan hukum. Hal tersebut menyebabkan terjadinya berbeda penafsiran antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Perbedaan penafsiran tersebut mengenai pemberian upah selama proses pemutusan hubungan kerja atau yang dalam praktik dikenal sebagai upah proses. Besarnya upah proses yang ditafsirkan oleh Mahkamah Agung bukanlah sampai suatu putusan berkekuatan hukum tetap tetapi hanya sebanyak enam bulan upah saja. Dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut teridentifikasi beberapa dasar hukum yang memungkinkan bagi hakim untuk menafsirkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) tersebut berbeda dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengakibatkan ketidakselarasan interpretasi antara dua puncuk kekuasaan kehakiman di Indonesia tersebut.207-226
"Pembangkangan" Terhadap Putusan Mahkamah KonstitusiMahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang berwenang memutus Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah (PHPU Kada). Sifat Putusan MK final dan mengikat sehingga semua pihak wajib menaati dan melaksanakannya. Namun dalam faktanya, terdapat Putusan MK yang tidak ditaati dan dilaksanakan. Artinya, ada dugaan pembangkangan terhadap Putusan MK. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini hendak menjawab dugaan bahwa Putusan Nomor 153/G/2011/PTUNJKT merupakan bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK Nomor 45/PHPU.D.VIII/2010. Hasil analisis menyatakan bahwa Putusan Nomor 153/G/2011/PTUN-JKT secara faktual merupakan bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK. Implikasi pembangkangan tersebut meliputi 3 (tiga) hal, yaitu (1) mengacaukan sistem dan tatanan hukum mengingat tidak seharusnya MA melakukan penilaian terhadap Putusan MK, (2) menimbulkan kebuntuan hukum terkait pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kotawaringin Barat, dan (3) membuka kembali ruang wacana mengenai adanya rivalitas MA dan MK.227-249
Pemidanaan Terhadap Pelaku Perkawinan Di Bawah Tangan Tanpa izin Istri PertamaPerkawinan merupakan ikatan lahir batin manusia dalam membentuk keluarga yang bahagia. Menurut perspektif hukum positif, perkawinan dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat material dan formal. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Maros Nomor 35/Pid.B/2012/PN.MRS, terdakwa melakukan perkawinan dibawah tangan tanpa izin dari isteri terdahulu yang sah. Terdakwa dipidana menurut ketentuan Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP karena melakukan perkawinan padahal perkawinan terdahulu menjadi penghalang yang sah baginya. Padahal, sebagai hukum positif, aturan tersebut merujuk pada ketentuan perkawinan menurut Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan yang dilakukan terdakwa memenuhi syarat material perkawinan, tetapi tidak memenuhi syarat formalnya sehingga unsur perkawinan dalam Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP tidak terpenuhi. Putusan tersebut mengandung kekeliruan sehingga tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.250-266
Implikasi Sistematis Akibat Pergeseran Tafsir Makna Status Anak Luar KawinPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 (dikenal dengan permohonan judicial review Machica Mochtar) memberi penafsiran baru yang menggeser tafsir sempit Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Semula anak luar kawin dimaknai seperti bunyi Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Mahkamah Konstitusi mencoba meyakinkan publik bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang sah menurut hukum dan memiliki hubungan hukum perdata dengan ayahnya, sepanjang dapat dibuktikan dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pergeseran tafsir makna ini disadari atau tidak disadari oleh majelis hakim konstitusi telah memiliki implikasi secara sistemis ke dalam hukum positif Indonesia. Paling tidak dapat diidentifikasi ada empat area hukum yang secara langsung maupun tidak langsung terimplikasi, yaitu hukum waris, hukum kewarganegaraan, hukum ketenagakerjaan, dan hukum pembuktian. Tulisan ini menunjukkan betapa implikasi yang kurang diperhitungkan akan menyisakan banyak permasalahan di kemudian hari.267-283
"Tirani" KonstitusionalPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUUIX/2011 tentang uji materiil beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi khususnya Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e telah menciptakan sebuah tirani konstitusi. Berdalih alasan negara hukum dan independensi hakim, Mahkamah Konstitusi melalui putusan itu telah menjelma menjadi lembaga tanpa pengawasan karena meniadakan pengawasan eksternal yang terdiri dari beberapa unsur dalam wadah bernama Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam penanganan perkara ini juga mengesampingkan asas hukum ultra petita (memutuskan melebihi apa yang diminta) dan nemo judex indeneus in propria causa (seorang hakim memiliki kewajiban mengundurkan diri apabila menangani perkara yang menyangkut dirinya) yang lazim dijunjung tinggi oleh hakim. Fakta itu berbanding terbalik dengan konsepsi negara hukum yang identik dengan pemisahan dan distribusi kekuasaan. Para pemangku kekuasan memiliki batasan-batasan yang mengedepankan check and balances. Kondisi itu berbanding terbalik dengan negara tirani yang hanya mengandalkan satu kekuasaan semata tanpa ada kontrol atau pengawasan eskternal.284-303

Ketersediaan

JH00023051 A3 Vol.6 No.3 2013Kampus Bekasi (A3)Tersedia



Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this