Judul | Abstract | Halaman |
---|
Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Vonis Bebas | Secara teori, jaksa penuntut umum (JPU) tidak diperkenankan mengajukan upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Namun dalam praktik selama ini, JPU telah beberapa kali mengajukan kasasi terhadap vonis bebas dan beberapa di antaranya dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal ini terjadi karena larangan mengajukan kasasi atas vonis bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP terkesan multitafsir sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dalam penerapannya. Kondisi semacam ini sangat berseberangan dengan prinsipprinsip negara hukum, khususnya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum. Atas dasar itulah, maka kemudian Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dengan Nomor 114/PUU-X/2012 menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Menurut pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi, larangan mengajukan kasasi atas vonis bebas oleh JPU tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas serta menghilangkan fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas, sehingga tidak tercapai kepastian hukum yang adil dan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum. | 1-17 |
Keadilan Prosedural Dan Substantif Dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari | Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji isi putusan hakim tentang sengketa tanah Magersari, Yogyakarta, dengan mempertanyakan apakah majelis hakim sudah mempertimbangkan semua fakta hukum yang terungkap di persidangan secara berimbang dan didasarkan pada hukum formil dan materiil. Penelitian ini tergolong kajian hukum doktrinal dengan pendekatan kasus. Objek kajian adalah Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK. Hasil kajian menunjukkan bahwa isi putusan tersebut sudah mencerminkan keadilan prosedural, karena sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG dan sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG. Akan tetapi jika dilihat dari aspek keadilan substansial, isi putusan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan keadilan substantif. Hal tersebut dapat diukur dari tidak adanya yurisprudensi yang diacu oleh hakim dalam membuat Pertimbangan hukum, absennya doktrin atau teori yang dijadikan dasar pertimbangan hukum, dan tidak ditemukannya penggalian nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. | 18-33 |
Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang "Testimonium De Auditu" Dalam Peradilan Pidana | Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 memberikan interpretasi baru mengenai saksi dalam KUHAP, yang mengakui saksi testimonium de auditu. Sejak saat ini putusan Mahkamah Konstitusi menjadi hukum yang mengikat semua orang. Walaupun demikian, tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi diikuti oleh badan-badan peradilan tatkala mengadili kasus-kasus konkret, contohnya putusan sela dalam Perkara Nomor 884/Pid.B/2010/PN.Bdg yang tidak mempertimbangkan dan memutuskan berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 seharusnya mengikat semua orang secara hukum. | 34-52 |
Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM Dalam Sengketa Agraria | Dikeluarkannya Putusan Pengadilan Negeri Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 76/PID/2013/PT.PLG yang menghukum dua pegiat hak asasi manusia merupakan indikasi terjadinya kriminalisasi terhadap aktivitas pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan di sektor agraria. Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan tentang optik kajian sociolegal dalam menelaah Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG terhadap upaya perlindungan hukum dalam kerangka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum guna mencegah praktik kriminalisasi terhadap aktivis pembela hak asasi manusia. Putusan tersebut dinilai merupakan preseden buruk mengingat tindakan kriminalisasi memiliki akibat terhentinya aktivitas pembelaan hak asasi manusia, sedangkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut justru berakhir pada praktik impunitas. | 53-69 |
Rule Breaking Dan Integritas Penegak Hukum Progresif Dalam Pemberantasan Korupsi Pejabat Daerah | Putusan progresif Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohon atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah cukup melegakan bagi penyidik kepolisian dan kejaksaan untuk memberantas tindak pidana korupsi oleh pejabat daerah. Putusan tersebut menghilangkan frase “persetujuan tertulis Presiden atas permintaan penyidik” dan “jangka waktu 60 (enam puluh) hari” pada Pasal 36 UU Pemerintahan Daerah masing-masing ayat (1) dan ayat (2). Prinsip negara hukum (legal state) di antaranya bercirikan equality before the law dan independent judiciary akan terganggu manakala proses penyelidikan dan penyidikan bagi pejabat daerah harus melalui izin tertulis dari Presiden. Paradigma hukum progresif adalah salah satu pendekatan yang dapat membantu aparat hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk yang dilakukan oleh pejabat daerah. Penulis menilai positif putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 sebagai kontribusi bagi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. | 70-87 |
Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara | Pendapat Mahkamah Konstitusi terkait dengan keberadaan lembaga negara serta komisi negara bisa ditelaah melalui beberapa putusannya. Beberapa di antaranya adalah berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial, keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Komisi Penyiaran Indonesia. Putusan terhadap keberadaan tiga lembaga tersebut menunjukkan bahwa ada persoalan tafsir hukum yang harus dikritisi. Dengan melihat tiga putusan terkait, Mahkamah Kontitusi menunjukkan bahwa yang bisa disebut sebagai lembaga negara adalah lembaga yang memang disebutkan secara nyata dalam UUD 1945. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang harus dilihat secara kritis. Konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi saat menyidangkan perkara terkait dengan Komisi Penyiaran Indonesia menjadi hal yang harus dipertimbangkan. Pada putusan pertama, menganggap Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara, akan tetapi dalam putusan selanjutnya menyatakan bukan sebagai lembaga negara. Di lain sisi, Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan tugas kewenangannya juga bisa menyidangkan perkara berkaitan dengan lembaga negara. Meskipun, lembaga negara tersebut sederajat kedudukannya dengan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. | 88-102 |