Judul | Abstract | Halaman |
---|
Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 Dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi | Penemuan hukum oleh hakim dalam putusan pengadilan sangatlah penting. Namun apabila penemuan tersebut didasarkan pada penafsiran hukum yang keliru, maka langkah tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai penemuan hukum dan justru akan berimplikasi pada munculnya kekecewaan masyarakat. Hasil analisis terhadap 13 putusan pengadilan menunjukkan adanya disparitas penafsiran hukum baik secara horizontal maupun vertikal atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di antara penafsiran hukum yang paling menonjol yang digunakan hakim adalah penafsiran restriktif, sehingga unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ditafsirkan sebagai orang yang bukan pegawai negeri atau pejabat negara, sedangkan unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 ditafsirkan sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Penafsiran tersebut tidaklah masuk akal karena berakibat pegawai negeri atau pejabat negara tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 (perbuatan melawan hukum) dan hanya dapat dijerat dengan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). Ancaman hukuman minimal Pasal 3 jauh lebih ringan daripada ancaman hukuman minimal Pasal 2, sehingga putusan yang didasarkan pada penafsiran restriktif tersebut berimplikasi pada ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Di samping itu secara penafsiran sistematis hal demikian bertentangan dengan payung hukum pidana
karena menurut Pasal 52 KUHP, ancaman bagi tindak pidana dalam jabatan ditambah sepertiga. | 103-116 |
Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum Tenaga Kerja Asing | Penggunaan tenaga kerja asing di pasar kerja Indonesia hanyalah untuk jabatan dan waktu tertentu. Hal tersebut diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya. Dalam praktiknya perjanjian kerja waktu tertentu antara pengusaha dengan tenaga kerja asing sering dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Perjanjian kerja tersebut sering dibuat tidak tertulis dan tidak dalam bahasa Indonesia. Selain itu jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu tersebut yang melebihi jangka waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang. Hal ini menimbulkan permasalahan hukum ketika terjadi perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja terkait dengan status hubungan kerja dan kompensasi PHK. Memang peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja asing sehingga pelanggaran atas perjanjian kerja waktu tertentu tersebut mengakibatkan perjanjian kerja tersebut dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal tersebut tidaklah tepat karena seharusnya terhadap perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja asing berlaku lex specialis. Dalam hal ini peran hakim menjadi penting dalam melakukan penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Faktanya Mahkamah Agung sendiri tidak satu suara atas hal tersebut sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 dan No. 29PK/PDT.SUS/2010. Hal ini menimbulkan dualisme dalam putusan-putusan Mahkamah Agung. | 117-135 |
Kekuatan Pembuktian Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perceraian | Saksi merupakan salah satu alat bukti yang digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa dan sangat menentukan untuk membuka tabir sejelas-jelasnya mengenai kebenaran pokok perkara yang disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam ketentuan hukum acara, saksi memiliki nilai kesaksian atau bernilai saksi sempurna apabila memenuhi syarat formil dan materil tentang apa yang disaksikan. Saksi seperti itu dinamakan saksi yang auditu sedangkan saksi yang tidak memiliki nilai kesaksian atau tidak memenuhi syarat formil dan materil kesaksian dinamakan saksi yang testimonium de auditu. Penelitian ini memfokuskan pada kajian adanya disparitas di dalam penilaian bukti saksi yang testimonium de auditu di dalam pemeriksaan perkara perceraian antara pengadilan agama tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada Pengadilan Agama Karawang, majelis hakim mempertimbangkan bahwa saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan sudah memiliki nilai pembuktian sekalipun keterangan yang diperoleh saksi berdasarkan apa yang didengar dari penggugat sehingga gugatan penggugat patut dikabulkan sedangkan dalam pertimbangan majelis hakim banding keterangan saksi yang diajukan dinilai sebagai saksi yang de auditu sehingga gugatan penggugat tidak terbukti dan akhirnya Pengadilan Tinggi Bandung membatalkan putusan Pengadilan Agama Karawang. | 137-155 |
Kepailitan Dalam Putusan Hakim Ditinjau Dari Perspektif Hukum Formil Dan Materil | Ruh dari undang-undang kepailitan adalah asas kelangsungan usaha, di mana putusan pailit merupakan ultimum remedium. Beberapa putusan pailit menjadi kontroversial karena keadaan keuangan debitor secara materil solven tetapi secara formil insolvensi. Isu kepailitan menarik untuk dibahas karena beban pembuktian dalam prmohonan pailit di pengadilan menurut undang-undang kepailitan menggunakan pembuktian sederhana. Tulisan ini akan mengulas masalah kepailitan yang diputus oleh Pengadilan Niaga Semarang dan Mahkamah Agung ditinjau dari aspek hukum materil dan hukum formil. Dengan meneliti konsistensi dan pertimbangan hukum putusan hakim pada kasus ini, maka diharapkan memperoleh gambaran penerapan undang-undang kepailitan secara das sollen-sein. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum doktrinal dengan tujuan mengkaji koherensi pertimbangan hukum antara judex factie dan judex juris pada kasus yang sama. Alasan pemilihan kasus kepailitan ini dibatasi pada bank sebagai pemohon pailit atas pertimbangan bahwa sudah memiliki sistem dan mekanisme utang-piutang yang terpercaya. Atas asumsi tersebut maka secara hipotetis dapat dikatakan permohonan pailit oleh bank kepada debitornya merupakan keputusan paling akhir. Penelitian ini setidaknya menemukan empat hal menarik dalam penerapan undang-undang kepailitan. Pertama, permohonan kepailitan yang diajukan ke pengadilan niaga tidak melewati pengujian cash flow test dan balanced sheet test, sehingga pembuktiannya di pengadilan hanya mengandalkan pada pembuktian sederhana sesuai Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Kedua, adanya iktikad buruk dari kreditor untuk menguasai aset debitor melalui permohonan pailit. Ketiga, tidak disertakannya Comanditaire Venotshcaap (CV) sebagai subjek hukum pailit. Keempat, putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang melewati batas waktu ketentuan formil undang-undang kepailitan. | 157-172 |
Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah Terkait Penerapan Hukum Formil | Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa ketentuan dan asas yang harus diperhatikan dan ditaati oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Tulisan ini merupakan bagian dari laporan penelitian yang berupa kajian terhadap putusan-putusan pengadilan di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang meliputi putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam perkara sengketa tanah yang mengandung gugatan “monetary remedy” dan “equitable remedy”. Sengketa tanah dapat disebut sengketa yang sangat sensitif dan sifatnya multi-isu karena merupakan sengketa sosial (social dispute) yang bersinggungan dengan persoalan budaya, sosio-struktural, strategis dan ekonomis. Banyaknya hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaan putusan sengketa tanah merupakan latar belakang mengapa perlu dikaji penerapan hukum formil (acara) dalam putusan pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) yang menjadi objek kajian. Dalam kajian ini, akan diketahui persoalan-persoalan dalam penerapan hukum acara yang dapat ditemukan di dalam putusan tersebut serta melihat apakah terdapat disparitas (perbedaan) mengenai tingkat ketaatan dan kepatuhan hakim judex facti dalam menerapkan ketentuan hukum formil. | 173-195 |
Reduksi Fungsi Anggaran DPR Dalam Kerangka Checks And Balances | Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 merupakan salah satu putusan penting. Putusan ini telah merombak struktur ketatanegaraan Indonesia yang menyimpang dari prinsip-prinsip negara hukum demokratis, khususnya dalam pelaksanaan fungsi anggaran oleh pemerintah dan DPR. Kewenangan dua lembaga dalam melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran pada dasarnya merupakan konsekuensi konsep negara hukum yang menganut prinsip checks and balances, yang bertujuan agar kekuasaan tidak hanya terletak pada satu tangan dan menghasilkan sistem pemerintahan yang korup dan otoriter. Namun, pelaksanaan fungsi anggaran oleh kedua lembaga harus memerhatikan batasan-batasan sesuai fungsi masing-masing agar tidak terjadi intervensi domain kekuasaan, konflik horizontal, maupun penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 berhasil membatasi kewenangan DPR dalam membahas R-APBN hanya sampai pada tingkat program. Pembatasan fungsi DPR ini merupakan upaya tepat agar DPR tidak menjadi sewenang-wenang dan justru mengacaukan sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah RI. Dengan demikian, putusan ini telah mereposisi kembali fungsi checks and balances di mana pemerintah mewujudkan fungsi perencanaan pembangunan dan penganggaran, sementara DPR mewujudkan fungsi politik anggaran yang sesuai amanat UUD NRI 1945. | 197-212 |