Judul | Abstract | Halaman |
---|
Kesaksian Ahli Jiwa Dalam Pertanggungjawaban Pidana Penganiayaan Berat | Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB memeriksa kasus penganiayaan berat yang berakibat matinya orang lain karena terdakwa mengalami halusinasi visual. Halusinasi visual termasuk ke dalam kategori gangguan jiwa, tetapi pemeriksaan kejiwaan oleh psikolog diberikan secara tertulis, tanpa second opinion ahli jiwa lain. Pentingnya kesaksian ahli jiwa dalam pemeriksaan Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB akan berimplikasi pada penjatuhan sanksi tindakan yang dapat dikaji dari tujuan pemidanaan. Metode penulisan yang digunakan berbasis pada penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Permasalahan dikaji menggunakan pendekatan kasus Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB yang diperbandingkan dengan Putusan Nomor 998/Pid.B/2006/PN.BDG dengan analisis data secara kualitatif. Hakim memutus perkara menggunakan keterangan tertulis seorang psikolog tanpa adanya ahli jiwa lain; sedangkan halusinasi visual merupakan gangguan jiwa yang seharusnya ditentukan oleh ahli jiwa. Dalam pemeriksaan di persidangan terbukti adanya penganiayaan berat yang berakibat matinya korban, sehingga hakim memutus sanksi pidana penjara selama tujuh bulan delapan hari. Penjatuhan tindakan dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa lebih tepat daripada pidana penjara pendek jika ditinjau dari perspektif tujuan pemidanaan. Kesimpulan sebagai akhir penulisan adalah kesaksian ahli jiwa berperan penting dalam pemeriksaan Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB, dan ditinjau dari aspek tujuan pemidanaan, sanksi tindakan dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa lebih tepat dijatuhkan terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB. | 1-22 |
Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia | Penerapan pidana merupakan sarana penal mencegah terjadinya tindak pidana. Penjatuhan pidana tidak boleh bertentangan dengan ketentuan nasional maupun internasional. Penjatuhan pidana merupakan kewenangan hakim. Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 537K/Pid.Sus/2014, dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014 adalah pelaksanaan dari sarana penal. Penerapannya tidak dibatasi jangka waktu seperti diatur dalam Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akibatnya terjadi kontroversi dengan HAM sedangkan kejahatan yang dilakukan adalah tindak pidana korupsi. Hak memilih dan dipilih adalah salah satu hak asasi manusia yang harus dijaga keberlangsungannya. Masalah dalam paper ini adalah 1) Mengapa diperlukan penerapan pidana pencabutan hak politik bagi terpidana tindak pidana korupsi?; dan 2) Bagaimana kriteria penerapan pidana pencabutan hak politik bagi terpidana tindak pidana korupsi dalam perspektif HAM? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan dan kasus. Kesimpulannya adalah terdapat keurgensian penerapan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dengan kriteria korupsi dilakukan oleh penyelenggara negara yang memiliki akses politik dan pemegang jabatan eksekutif, serta akibat korupsi menyengsarakan rakyat. Penerapannya harus ada pembatasan waktu pencabutan hak politik terpidana. | 23-44 |
Penerapan Sanksi Pidana Adat Dalam Perkara Pidana Anak | Dalam mengambil suatu putusan, hakim tidak saja melihat dan berpedoman kepada ketentuan tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi juga terhadap ketentuan-ketentuan lain yang hidup dan berlaku di tengah-tengah masyarakat. Hal inilah yang terlihat pada Putusan Nomor 247/Pid/B/2012/PN.Pdg yang menjatuhkan hukuman penjara kepada terdakwa anak, meskipun dakwaan penuntut umum tidak terbukti di persidangan. Oleh karena hakim berpendapat telah terjadi pelanggaran hukum pidana adat Minangkabau, maka kemudian menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Timbul pertanyaan, bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penerapan sanksi pidana adat pada perkara pidana anak dan bagaimanakah hubungan penerapan pidana adat oleh hakim dengan penemuan hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan dasar pertimbangan hakim dalam penggunaan pidana adat dan menjelaskan hubungan penerapan pidana adat dalam putusan hakim dengan penemuan hukum. Dasar pertimbangan hakim menerapkan sanksi pidana adat dalam putusan adalah berdasarkan alasan yuridis dan non-yuridis secara formal dan substansi perundangundangan tidak tertulis. Dalam hal ini sesuai ketentuan dalam UU Nomor 1 Darurat Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) huruf b dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. | 45-64 |
Nafkah Anak Luar Kawin Menurut Konsep Hifzhu Al-Nafs | Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya mengatur tentang hubungan perdata anak yang lahir di luar kawin dengan ibunya. Anak di luar kawin tidak mendapatkan haknya secara sempurna karena ayah biologis tidak mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi hak anak. Analisis ini mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan menitikberatkan pada tiga pokok pembahasan, yaitu: 1) bagaimanakah pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi terhadap tanggung jawab anak luar kawin; 2) bagaimanakah kesesuaian konsep hifzhu al-nafs dengan dialihkannya tanggung jawab ayah atau keluarga ayah hasil tes DNA; dan 3) apakah ada kesamaan konsep hifzhu al-nafs dalam maqāshid syarī’ah terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) terkait dengan nafkah anak luar kawin setelah diuji materiil. Kajian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif, yang bersifat penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode studi kepustakaan. Dari hasil analisis ditemukan bahwa setelah judicial review terhadap Pasal 43 ayat (1), terdapat pembaharuan bahwa anak luar kawin berhak mendapat nafkah dari orang tuanya sepanjang dapat dibuktikan secara hukum maupun
secara ilmu pengetahuan dan teknologi. Selaras dengan itu putusan Mahkamah Konstitusi sendiri didukung penuh oleh konsep hifzhu al-nafs demi menjaga jiwa si anak dari keterpurukan. Dengan adanya penyesuaian konsep hifzhu al-nafs, putusan tersebut dapat dijalankan di Indonesia namun tetap sejalan dengan prosedur yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. | 65-83 |
Hak Anak Sebagai Ahli Waris Dalam Perkawinan Siri | Perkara Kasasi Nomor 329K/AG/2014 yang diajukan oleh AM kepada Mahkamah Agung dimaksudkan untuk menuntut itsbat nikah atas perkawinan siri antara dirinya dengan Almarhum M dan pemenuhan hak waris atas anaknya MIR terhadap Almarhum M. Pertimbangan hukum keputusan hakim yang menolak gugatan tersebut menarik untuk dicermati. Rumusan masalah penelitian adalah bagaimana pertimbangan dan implikasi Putusan Kasasi Nomor 329K/AG/2014? Serta bagaimana alternatif hukum yang bisa diupayakan untuk kasus lain yang serupa? Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, bersifat kritisanalitis dan berjenis penelitian pustaka. Pengumpulan data dilaksanakan secara dokumentasi dan dianalisis secara kualitatif. Pembahasan terdiri dari tiga subbab, yakni analisis putusan, perdebatan perkawinan siri, dan tawaran alternatif hukum. Kesimpulannya adalah 1) Mahkamah Agung menolak itsbat nikah karena perkawinan siri tersebut dilangsungkan setelah berlakunya UU Perkawinan Tahun 1974, dan sebagai konsekuensinya, MIR tidak bisa mendapat warisan dari Almarhum M; dan 2) sebagai solusi, alternatif hukum yang bisa diupayakan adalah pembaruan pengaturan itsbat nikah melalui judicial review terhadap huruf a angka 22 Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU Peradilan
Agama Tahun 2006 atau hakim bisa saja memberikan wasiat wajibah. | 85-102 |
Implementasi Pembatalan Putusan Bani Dan Putusan Bapmi Oleh Pengadilan Negeri | Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Namun demikian, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berikut penjelasannya tetap membuka kemungkinan putusan arbitrase dapat dibatalkan oleh pengadilan negeri apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur pidana yang terlebih dahulu harus dibuktikan di pengadilan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, penulis mengkaji dua putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 528/PDT/G/ARB/2011/PN.JKT.PST yang membatalkan putusan BANI Nomor 399/V/ARBBANI/2011 dan Nomor 513/PDT.G/ARB/2012/PN.JKT.PST yang membatalkan putusan arbitrase BAPMI
Nomor 004/ARB-03/VIII/2011. Terdapat kecenderungan pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Jakara Pusat dalam membatalkan putusan arbitrase tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan asas presumption of innocence. Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa putusan arbitrase BANI dan BAPMI tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan negeri. Demi menghadirkan kepastian hukum, maka sebaiknya Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 direvisi. Upaya hukum lanjutan terhadap putusan arbitrase sebaiknya tidak lagi melalui mekanisme pembatalan di pengadilan negeri namun berupa permohonan koreksi atau penafsiran resmi terhadap suatu putusan arbitrase sebagaimana telah diatur dalam UNCITRAL Rules. | 103-123 |