No image available for this title

Ilmu Hukum S1

Jurnal Yudisial Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015

Informasi Detil

Volume
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015
Penerbit Komisi Yudisial Republik Indonesia : jakarta.,
ISSN
1978-6506
Subyek

Artikellllll Jurnal

JudulAbstractHalaman
Penafsiran Mou Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen Dalam Kaitan Makna Otonomi Khusus Di AcehAceh merupakan salah satu daerah provinsi dalam lingkup Negara Indonesia yang memperoleh status otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus diatur menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, melalui semangat MoU Helsinki. Salah satu kekhususan Aceh terkait dengan otonomi khusus yaitu hak bidang politik seperti keikutsertaan calon independen dan partai politik lokal. Kedua hal tersebut merupakan perintah langsung dari MoU Helsinki. Namun, kedua hal tersebut terkendala dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, memerintahkan setiap daerah provinsi dapat mengikutsertakan calon independen dalam pemilukada. Kendala Aceh, keikutsertaan calon independen dalam pemilukada menurut MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 hanya satu kali. Oleh karena itu, pertentangan politik terjadi diakibatkan karena pelaksanaan seluruh butir MoU Helsinki belum diselesaikan oleh pemerintah pusat dan adanya upaya menggagalkan pelaksanaan pemilukada akibat MoU Helsinki tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Maka permasalahan tersebut dimohonkan untuk diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010. Mahkamah Konstitusi menilai terjadi perbedaan penafsiran atas MoU, khususnya terkait hak politik di Aceh. Adapun inti dari Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 yaitu memperjelas makna otonomi khusus terkait hak politik yang disebutkan oleh MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 bagi Aceh. Kemudian Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran bahwa pelaksanaan MoU tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.125-143
Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Yang Berkeadilan Dan Berkepastian HukumPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUUXI/2013 pada prinsipnya membolehkan peninjauan kembali (PK) dilakukan lebih dari satu kali. Putusan MK tersebut menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja,” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasca putusan tersebut, Mahkamah Agung (MA) justru menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Tulisan ini mengkaji solusi atas polemik peninjauan kembali dalam perkara pidana. Pembahasannya diawali dengan pemenuhan unsur keadilan dan kepastian hukum dalam PK seiring terbitnya Putusan MK dan SEMA tersebut. Pembahasan selanjutnya mengenai apakah pengaturan upaya PK selaras dengan prinsip perlindungan HAM. Dalam analisis disimpulkan bahwa: 1) pemenuhan keadilan (doelmatigheid) dalam upaya PK harus dilaksanakan dengan bingkai kepastian hukum (rechtmatigheid); 2) Putusan MK telah memberikan perlindungan HAM dan selaras dengan Statuta Roma 1998, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan koreksi dan rekoreksi terhadap putusan yang dipandang tidak adil; dan 3) dengan menggunakan asas res judicata pro veritate habetur maka dasar pengajuan PK harus berpedoman pada Putusan MK. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membuat mekanisme untuk mempercepat proses pemeriksaan PK dan mempercepat eksekusinya.145-166
Sah Atau Tidaknya Penetapan Tersangka Sebagai Objek Gugatan PraperadilanPasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 ayat (2) KUHAP tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Namun dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menerima dan mengabulkan penetapan tersangka BG yang dilakukan oleh penyidik KPK tidak sah. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hakim adalah Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Menurut hakim, penetapan tersangka terhadap BG oleh penyidik KPK merupakan bentuk dari “tindakan lain” aparat penegak hukum yang sewenang-wenang sebagaimana dimaksud Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Kedua pasal tersebut sebenarnya lebih kuat digunakan sebagai salah satu alasan untuk menuntut ganti rugi karena seorang tersangka perkaranya dihentikan baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan. Oleh karena itu, tidak tepat apabila kata “tindakan lain” yang dimaksud dijadikan dasar sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Pertimbangan hakim dalam memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan seharusnya adalah atas dasar keadilan dengan keluar dari ketentuan KUHAP.167-189
Pelenturan Hukum Dalam Putusan Peninjauan Kembali Yang Diajukan Oleh Jaksa Penuntut UmumSecara eksplisit Pasal 263 KUHAP tidak memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Berdasarkan pasal tersebut, Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan tidak dapat menerima upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dengan mendasarkan pada nilai kepastian hukum, namun dalam putusannya yang lain menyatakan dapat menerima peninjauan kembali dari jaksa penuntut umum dengan mendasarkan pada nilai keadilan sehingga menyeimbangkan hak terpidana dengan korban/negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum. Berbeda halnya dengan Putusan Nomor 57 PK/Pid/2009, Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan Pasal 263 KUHAP dapat dilenturkan apabila ada hal yang dapat menyatakan bilamana bahwa permohonan peninjauan kembali jaksa/penuntut umum tersebut untuk melindungi suatu kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar. Atas upaya pelenturan hukum yang demikian, Mahkamah Agung pada hakikatnya telah melakukan penciptaan hukum yang berorientasi pada kemanfaatan hukum yang notabene dalam konteks tertentu mengesampingkan kepastian hukum.191-207
Delik Izin Lingkungan Yang TerabaikanDelik izin lingkungan dalam Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) akan dipidana. Terdapat aspek kontroversi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 yang membenarkan Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 357/PID.B/2010/PN.Mdo tanggal 24 Mei 2011. Putusan itu menetapkan terdakwa VP bebas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum yaitu Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dalam kasus ini dakwaan penuntut umum dinilai tidak cermat dengan tidak mencantumkan delik yang berkaitan dengan pasal yang didakwakan, selain itu putusan hakim dinilai tidak memberikan perlindungan hukum pada masyarakat, cenderung berpikiran sempit dengan telah mengabaikan delik izin lingkungan yang terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, tetapi hal itu tidak terdapat dalam dakwaan jaksa/penuntut umum. Hakim seharusnya tidak mengabaikan hal itu, karena tugas hakim adalah untuk mendapatkan kebenaran materiil yang pada hakikatnya untuk keadilan. Putusan ini juga bisa menjadi dasar bagi kasus-kasus selanjutnya, di mana pihak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal dan UKL/UPL tidak akan mengurus izin, mereka akan mengurus izin lingkungan dan izin usahanya jika sudah ada tuntutan delik di salah satu pasal dalam UUPPLH dan hal ini berakibat masyarakat tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum atas kejahatan lingkungan.209-228
Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi Nilai Dalam Penegakan HukumBercermin pada putusan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. tanggal 25 November 2014 yang mengadili konflik agraria di Desa SS, dapat dipetik suatu pelajaran betapa lemahnya peran pengadilan sebagai lembaga penegakan hukum yang visioner dalam melindungi kelompok masyarakat petani yang tidak berdaya. Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 telah memberikan mandat yang jelas, baik yang ditujukan kepada DPR, presiden, dan lembaga yudikatif (pengadilan), yaitu pertama, menjalankan pembaruan agraria; dan kedua, menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Amanah tersebut menginspirasi pengadilan agar dalam menyelesaikan konflik agraria, bukan hanya mengandalkan legalisme/formalisme, tetapi melalui paradigma hukum progresif yang mengedepankan keadilan substansial. Berpegang pada prinsip kebebasan hakim dalam penegakan hukum, peluang terbuka lebar untuk memadukan ketegangan–melalui metode antinomi- nilai antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan, agar lebih mengedepankan nilai manfaat bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh kekuatan dan kekuasaan pemodal besar di dalam kancah konflik agraria.229-249

Ketersediaan

JH00030051 A3 Vol.8 No.2 2015Kampus Bekasi (A3)Tersedia



Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this