Judul | Abstract | Halaman |
---|
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Dan Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak | Penelitian ini merupakan kajian Putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor 210/Pid.Sus/2014/PN.Blt mengenai tindakan asusila yang mana pelaku dan korban merupakan anak di bawah umur. Majelis hakim dalam putusan tersebut menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada tiga terdakwa masing-masing selama dua tahun tiga bulan, denda masing-masing sebesar enam puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar maka digantikan dengan Wajib Latihan Kerja selama tiga bulan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim dalam menegakkan hukum mengutamakan tiga aspek yaitu yuridis (kepastian hukum), sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan). Menurut majelis hakim penjatuhan pidana terhadap para terdakwa bukan untuk pembalasan dendam melainkan suatu bentuk pemberian bimbingan dan pengayoman serta suatu terapi kejut. Melalui penjatuhan pidana tersebut diharapkan para terdakwa tidak mengulangi perbuatannya di masa datang dan perasaan malu yang dihadapi keluarga terdakwa dapat dimaknai sebagai sebuah sanksi moral. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 penjatuhan pidana terhadap pelaku anak tidak berbeda dengan pelaku dewasa, salah satunya dengan pidana penjara. Namun, dalam kasus ini mengingat pelaku masih di bawah umur hendaknya perkara ini bisa diselesaikan di luar pengadilan yaitu melalui diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. | 251-268 |
Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama | Peradilan agama merupakan peradilan khusus bagi orang-orang Islam. Namun, dalam perkara waris yang ditangani oleh peradilan agama dapat melibatkan pihak muslim dan nonmuslim. Hal ini karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. Persoalan penegakan keadilan dalam perkara waris beda agama di pengadilan agama menjadi menarik untuk diteliti. Penelitian ini mengkaji lima penetapan dan dua putusan pengadilan agama dalam perkara waris beda agama dengan menggunakan pendekatan kasus. Perkara waris beda agama yang ditangani pengadilan agama dalam penelitian ini dibedakan dalam dua
kasus. Pertama, perkara waris yang terdiri dari pewaris nonmuslim dengan ahli waris muslim, atau ahli waris muslim dan nonmuslim. Kedua, perkara waris yang terdiri dari pewaris muslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim. Pada kasus pertama, penegakan keadilan oleh pengadilan agama masih terbatas bagi ahli waris muslim, dan mengabaikan keadilan bagi ahli waris nonmuslim. Pertimbangan hukum hakim lebih mencerminkan bias keagamaan dan inkonsistensi dalam penggunaan logika hukum. Pada kasus kedua, pengadilan agama telah mampu menegakkan keadilan bagi semua, dengan memberikan bagian harta warisan kepada ahli waris nonmuslim melalui wasiat wajibah berdasarkan yurisprudensi. Hakim-hakim pengadilan agama menggunakan wasiat wajibah dalam perkara waris beda agama dari pada menyelidiki alasan hukum (ratio legis) hadis yang melarang waris beda agama. | 269-288 |
Implementasi Hukum Progresif Dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis | Kekayaan sumber daya alam di Indonesia mencakup keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia. Demikian juga dengan keanekaragaman suku, agama, dan ras, dari masyarakat Indonesia sehingga membentuk masyarakat plural, yang di dalamnya terdapat tata nilai, norma-norma adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga kebijakan penataannya secara luas melalui konsep berkelanjutan ekologis untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kajian ini membahas Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 yang merupakan hasil perlawanan masyarakat Sedulur Sikep atas kebijakan pembangunan pabrik dari PT. SG yang dianggap akan merusak lingkungan hidup, merusak sistem ekologi, dan menghilangkan hak-hak hidup masyarakat Sedulur Sikep yang selama ini hanya bertani sehingga sangat tergantung pada tanah dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep yang tersebar di Kecamatan Sukolilo
Kabupaten Pati memiliki karakteristik yang unik. Oleh karena itu, hal ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih mendalam baik secara doktrinal maupun non doktrinal. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio-legal study, yang dalam arti hukum tidak sekedar dikonsepsikan sebagai norma dan sekaligus memaknai hukum sebagai perilaku, sehingga penelusuran realitas
yang sesungguhnya diharapkan akan dapat diketahui apakah hukum positif yang ada maupun hukum yang lahir dari pola-pola antar subjek dalam masyarakat itu merupakan hukum yang sudah adil atau tidak. | 289-306 |
Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum Dalam Perspektif Hukum Progresif | Penelitian ini mengkaji secara deskriptif analitis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 yang mengadili terdakwa SM. Melalui putusan tersebut SM dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan serta mendapat ganti rugi sebesar lima juta rupiah setelah menjalani hukuman kurungan selama tiga belas bulan atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Pada putusan pengadilan di tingkat pertama dan banding ia dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman. Nilai keadilan yang sesungguhnya harusnya memperhatikan kerugian moril maupun materiil yang dialami SM atas putusan-putusan hakim sebelumnya. SM selayaknya bukan hanya dibebaskan tetapi juga mendapat ganti rugi saat menjalani proses hukum sesuai dengan ukuran kebutuhan hidup yang layak. Jika hal tersebut diterapkan maka hukum tidak hanya sekadar kata-kata hitam-putih dari peraturan melainkan menjalankan semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum. Untuk menguatkan kehadiran hukum progresif dalam putusan pengadilan maka harus mengacu pada norma dan asas dalam sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. | 307-318 |
Penerapan Perjanjian Bersama Dalam Pemutusan Hubungan Kerja | Hubungan industrial merupakan suatu hubungan yang terbentuk antara para pemangku kepentingan di dalam proses produksi barang dan jasa yang memiliki dampak sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara, sehingga stablitasnya perlu dijaga dengan baik. Oleh karena itu setiap putusan pengadilan hubungan industrial haruslah tepat dan disertai rasa keadilan, akuntabilitas, dan kejujuran, untuk menghindari timbulnya gejolak dalam hubungan industrial. Putusan pengadilan hubungan industrial yang tidak akuntabel, tidak jujur, dan tidak mencerminkan rasa keadilan tentu akan berdampak pada stabilitas proses produksi barang dan jasa. Tulisan ini merupakan suatu kajian terhadap putusan perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja yang telah diputus di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012. Dalam putusan tersebut, majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya hanya menggunakan perjanjian bersama yang telah dibuat oleh penggugat dan tergugat pada saat penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit, padahal perjanjian bersama tersebut isinya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penulis berkesimpulan bahwa putusan hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak tepat dalam menggunakan pertimbangan hukum. Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 tersebut belum mencerminkan adanya peradilan hubungan industrial yang akuntabel, jujur, dan adil. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan keadilan hukum. | 319-338 |
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan | Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl adalah mengenai kasus perkosaan yang melibatkan korban seorang perempuan tuna rungu berinisial SW. Berdasarkan salinan putusan, SW tidak mendapatkan penerjemah selama proses persidangan. Dari beberapa permasalahan yang ditemui, penelitian ini mengulas tiga rumusan masalah. Pertama, apakah kerugian dari hasil peradilan yang diterima SW terkait akses atas keadilan? Kedua, bagaimanakah perlakuan yang seharusnya diterapkan bagi korban difabel seperti SW? Ketiga, apa yang harus dilakukan negara untuk menjamin proses peradilan affirmative bagi kaum difabel? Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan data sekunder dan analisis kualitatif. Hasil penelitian memberikan beberapa kesimpulan. Pertama, tanpa adanya penerjemah atau bahkan pendamping, kerugian berkaitan hak akses atas keadilan yang dialami SW menyebabkan korban tidak bisa memanfaatkan jaminan keuntungan formil dari ketentuan Pasal 98 ayat (1) KUHAP. Kedua, perlakuan khusus dalam proses peradilan yang dibutuhkan difabel adalah proses affirmative. Proses ini bertujuan menghilangkan diskriminasi bagi kaum difabel. Ketiga, dalam merealisasikan jaminan perlakuan affirmative bagi kaum difabel, harus terdapat revisi terhadap peraturan hukum terkait dan penajaman wawasan penegak hukum mengenai isu difabilitas. | 339-359 |