Judul | Abstract | Halaman |
---|
Keamanan Nasional dalam Konsep dan Standar Internasional | Kemanan nasional sebagai suatu konsepsi yang dikeluarkan AS pada saat Perang Dingin memeliki asosiasi yang sangat erat dengan pendekatan militer sebagai suatu pendekatan tradisional. Dengan berakhirnya Perang Dingin, konsepsi keamanan nasional mengalami perubahan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis yang terus berkembang. Perubahan cukup signifikan terjadi terutama dalam hubungannya dengan perang melawan terorisme. Karena itu, konsep keamanan nasional yang lahir pada masa perang dingin menjadi tidak relevan dan ambigu diartikan untuk konteks saat ini. Dengan metoda analitikal terhadap deskriptif empiris, tulisan ini mendiskusikan persoalan perubahan konsepsi kemanan nasional dan bagaimana hukum internasional terutama hak asasi manusia melihat hal ini. | 5-25 |
Problematika Tugas Perbantuan TNI | Persoalan tugas perbantuan militer di era reformasi telah menjadi persoalan serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Secara perlahan tapi pasti keterlibatan militer ke ranah sipil dalam menjaga keamanan dalam negeri terus terjadi. Pelibatan militer itu kadangkala bertentangan dengan UU TNI hingga menimbulkan berbagai persoalan di tataran implementasi. Dalam rangka menjaga profesionalisme TNI dan kehidupan demokrasi di Indonesia, keberadaan pengaturan tugas perbantuan yang spesifik dan komprehensif menjadi kebutuhan utama.Tulisan ini bermaksud untuk mengupas persoalan tugas perbantuan militer di Indonesia yang akan ditinjau dari konsep perbantuan, kerangka pengaturan tugas perbantuan di Indonesia, serta kritik dan analisis terhadap tugas perbantuan di Indonesia. | 27-47 |
Islam Politik dan Radikalisme: Tafsir Baru Kekerasan Aktivisme Islam Indonesia | Tulisan ini berkesimpulan bahwa kekerasan aktivisme Islam politik lebih ditentukan pada kemampuan mengukur batas toleransi politik; watak represi negara dan aksesibilitas sistem politik. Batas toleransi politik menentukan sebuah gerakan perlu tidaknya mengambil jalan kekerasan sebagai saluran penentangan. Dengan menggunakan pendekatan integratif teori gerakan sosial, tulisan ini memberikan paradigma pilihan rasional untuk membaca kepentingan para aktor aktivisme Islam politik di Indonesia dalam memilih aksi kekerasan sebagai saluran penentangan. Akhirnya, kekerasan aktivisme Islam tidak semata-mata bersumber dari tradisi keagamaan. Simbol-simbol Islam yang melekat dalam aksi kekerasan aktivisme Islam merupakan strategi kerangka aksi (framing) bukan sumber doktrinal dari tindakan kekerasan. | 49-76 |
Menjaga Keseimbangan Antara Keamanan dan Kebebasan Dalam Kebijakan Penanggulangan Terorisme | Problem utama yang dikaji dalam tulisan ini adalah penegakan HAM dalam penanggulangan terorisme. Respon terhadap aksi terorisme disinyalir cenderung memperumit jalannya proses demokratisasi dan penegakan HAM di banyak negara, tidak ada keseimbangan di antara security dan liberty dalam kebijakan perang melawan terorisme. Perang terhadap terorisme telah menempatkan kebebasan bukan lagi hal yang utama untuk dilindungi negara. Untuk dan demi atas nama keamanan, kebebasan untuk sementara waktu sah hukumnya dibatasi bahkan di intervensi oleh negara. Pada titik ini penulis mengemukan pertanyaan apakah ”zaman hak” (the age of rights) sudah berakhir sejak 11 september 2001?, padahal salah satu tugas negara adalah memberikan perlindungan kebebasan dan keamanan terhadap warga negara. Demikian pula, HAM mendapatkan jaminannya dalam hukum internasional hak-hak asasi manusia dan diperintahkan oleh konstitusi setiap negara demokratik. | 77-101 |
Transformasi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Menjadi Kelompok Kekerasan (Studi Kekerasan Ormas di Jakarta) | Sebagai bagian dari interaksi sosial, Ormas kerap terlibat aksi kekerasan, salah satunya adalah aksi kekerasan antar Ormas. Berangkat dari kondisi tersebut, penelitian ini kemudian berupaya menggali akar permasalahan yang menyebabkan Ormas bertransformasi menjadi kelompok kekerasan dan bagaimana pola transformasi Ormas saat melakukan kekerasan kelompok. Dalam penelitian ini, empat Ormas di Jakarta, yang namanya disamarkan dalam tulisan ini—Ormas Gajah, Macan, Singa, dan Musang—menjadi subyek penelian. Melalui penggunaan metode kuantitatif dan eksplanasi serta analisis dengan menggunakan teori sub kebudayaan dan teori konflik, hasil studi ini menunjukkan bahwa Ormas bertransformasi menjadi kelompok kekerasan manakala terdapat tiga faktor, yakni terganggunya kepentingan kelompok, terganggunya identitas kelompok, dan terganggunya organisasi sosial. Penelitian ini juga menemukan fakta baru, bahwa pola transformasi Ormas menjadi kelompok kekerasan tidak hanya dalam bentuk Ormas melawan Ormas, namun juga Ormas melawan kolaborasi Ormas. Kolaborasi antar Ormas hanya terjadi dalam situasi-situasi tertentu, yakni ketika adanya kesamaan kepentingan, hubungan emosional dan musuh bersama. | 103-129 |
Upaya Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak | Kekerasan terhadap anak sering diistilahkan dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Jika hal ini terjadi, maka akan menjadi rantai dan budaya kekerasan. Jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pelaku kekerasan terhadap anak justru adalah orang yang diharapkan oleh sang anak untuk mendapatkan perlindungan, orang yang mereka patut dipercaya, seperti orangtua atau kerabat anak, pengasuh, orang di sekitar tempat tinggal anak, dan guru. | 131-147 |
Polisi, Kekerasan dan Senjata Api: Tantangan Pemolisian di Era Demokrasi | Polisi sebagai alat negara dibidang penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat memiliki kewenangan melakukan tindak “kekerasan” dalam rangka penyelenggaraan kamtibmas. Namun demikian, seiring dengan merebaknya fenomena, supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Polri. Paradigma tersebut menuai tuntutan dan harapan terhadap pelaksanaan tugas Polri yang semakin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayani serta mengarah pada paradigma democratic policing. Tulisan ini bermaksud membedah persoalan kekerasan dalam hubungan dengan tugas dan fungsi kepolisian, baik secara filosofis, juridis dan sosial dalam kerangka democratic policing. | 149-161 |
Perselisihan Polri Dengan KPK: Belajar Dari Sejarah Perselisihan Wewenang Penyidik/Polisi dan Penuntut Umum/Jaksa | Tulisan ini menjelaskan sejarah perselisihan antar lembaga penegak hukum. Dengan mengambil contoh kasus pada perselisihan antara Polri dan KPK, pada pemaparan selanjutnya menjelaskan bahwa perselisihan antar lembaga penegak hukum pada dasarnya bukanlah hal baru. Konflik yang ada lebih pada terjadinya perselisihan wewenang dan/atau kepentingan. Pada kesimpunnya terlihat bahwa perselisihan pada hakekatnya terkait masalah politik dengan hukum. | 163-171 |