Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini berlaku merupakan adaptasi dari hukum kolonial dan dianggap tidak relevan secara sosiologis dengan perkembangan masyarakat modern. Dalam konteks tindak pidana santet, KUHP lama memuat pengaturan yang tersebar dalam Pasal 545, 546, dan 547, sementara KUHP baru tahun 2023 merumuskan tindak pidana ini secara spesifik dalam Pasal 252. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaturan sanksi bagi pelaku santet dalam kedua regulasi tersebut serta menganalisis pelaksanaan sanksi pidananya. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil analisis menunjukkan bahwa Pasal 252 KUHP Nasional memfokuskan pada pencegahan (prevensi) praktik santet dengan mengkriminalisasi perbuatan menawarkan atau memberikan jasa santet yang dapat mencelakakan pihak lain. Sebaliknya, KUHP lama cenderung mengatur tindak pidana ini secara umum dan lebih ringan. Selain itu, ditemukan berbagai faktor penghambat pemberian perlindungan hukum bagi korban santet, seperti aspek hukum, sosial, ekonomi, politik, dan struktural. Pembaharuan KUHP diharapkan mampu mengatasi kelemahan ini dengan memastikan pembuktian yang lebih jelas dan sanksi yang lebih relevan. Dengan adanya pengaturan baru, tindak pidana santet tidak hanya bisa dicegah, tetapi juga memberikan keadilan bagi korban serta mencegah praktik main hakim sendiri di masyarakat.