Kerusakan Hutan dan/atau Lahan akibat Kebakaran masih banyak terjadi di Indonesia. Hal tersebut merupakan sebuah akibat dari pengelolaan hutan yang dieksploitasi dari titik berpihak pada kepentingan rakyat yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan hutan yang mengkhawatirkan. Akibat dari kerusakan hutan tersebut memiliki dampak yang sangat negatif bagi kesehatan, ekologi, dan kerusakan lingkungan, hubungan antar negara, perhubungan dan juga dalam sektor ekonomi. Adapun tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui diperbolehkan atau tidaknya Korporasi melakukan pembakaran hutan dalam rangka kerjanya. Serta untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban hukum perdata Korporasi terhadap tindakan perbuatan melawan hukum pembakaran hutan. Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kesatu, korporasi siapapun tidak diperbolehkan atau dilarang melakukan pembakaran hutan maupun lahan untuk kepentingannya meskipun berada di areal kerja. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Namun, terdapat pengecualian bagi masyarakat hukum adat yang melakukan aktivitas hukum adat dan berkebut untuk menanam sumber kehidupan dan keberlanjutan hidup, yang mana dengan ketentuan luas lahan maksimal 2 hektare perkeluarga hukum keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya, sehingga tidak memiliki potensi kebakaran hutan. Kedua, pertanggungjawaban perdata pada bidang lingkungan hidup yakni dengan menuntut kerugian akibat pembakaran atau kerusakan lingkungan hidup yang merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Adapun prinsip yang digunakan dalam menentukan tanggung jawab tersebut ialah prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Maka dari itu bentuk pertanggungjawaban korporasi terhadap kerusakan hutan yakni dengan diwajibkan membayar ganti rugi serta melakukan tindakan pemulihan terhadap kerugian hidup yang telah tercemar. Adapun bentuk-bentuk ganti rugi tersebut terdiri dari ganti rugi nominal, ganti rugi tindakan, dan bentuk penggantian. Seperti yang terjadi pada PT. Waringin Agro Jaya yang berdasarkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) diwajibkan mengganti atas kebakaran karena kekurangannya penerapan prinsip kehati-hatian dalam hal ini kurangnya sarana prasarana yakni sistem peringatan dini (early warning system) yang tidak memadai karena tidak sebanding dengan luas lahannya.