Tindak pidana farmasi merupakan masalah serius dalam dunia kesehatan, yang sering kali menyebabkan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Pasal 138 juncto Pasal 435 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur larangan terhadap produksi dan peredaran produk farmasi yang tidak memenuhi standar, namun dalam praktiknya, terdapat kelemahan dalam penerapan norma tersebut. Berdasarkan berbagai kasus, seperti yang tercermin dalam Putusan Pengadilan Negeri Mamuju, Putusan PN Nganjuk, dan Putusan PN Polewali, penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan obat belum sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelemahan-kelemahan dalam Pasal 138 jo. Pasal 435 UU Nomor 17 Tahun 2023 dan menawarkan solusi untuk mengatasi kekaburan norma yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelemahan dalam Pasal 138 dan Pasal 435 menciptakan potensi kekaburan hukum dan kesulitan dalam penegakan hukum yang konsisten. Solusi yang diusulkan antara lain adalah penetapan peraturan turunan yang lebih spesifik, penetapan ketentuan sanksi pidana yang lebih proporsional, dan penguatan koordinasi antar lembaga terkait. Pengawasan yang lebih ketat serta sosialisasi intensif kepada masyarakat juga diharapkan dapat mengurangi praktik pemalsuan produk farmasi.