Penelitian ini membahas konstruksi hukum bisnis dalam pengaturan insentif pajak berbasis kepatuhan lingkungan sebagai instrumen transisi menuju ekonomi hijau di Indonesia. Dalam kerangka hukum bisnis, pemberian insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan super deduction tidak hanya merupakan kebijakan fiskal, melainkan juga mencerminkan bentuk hubungan hukum yang bersifat regulatory contract antara negara dan pelaku usaha. Hubungan ini bersifat normatif-implementatif dan mengikat melalui regulasi administratif, bukan melalui kontrak privat, serta didasari oleh prinsip good faith, mutual accountability, dan strict liability atas kewajiban lingkungan. Namun demikian, penerapan kebijakan insentif fiskal hijau masih menghadapi sejumlah hambatan. Secara normatif, belum terdapat ketentuan eksplisit mengenai sanksi atau mekanisme evaluasi keberlanjutan pasca pemberian insentif. Secara kelembagaan, koordinasi antara instansi terkait seperti Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta BKPM masih belum terintegrasi, sehingga menimbulkan celah dalam pengawasan dan pelaporan. Akibatnya, insentif berpotensi disalahgunakan sebagai formalitas administratif tanpa memberikan dampak riil terhadap pelestarian lingkungan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan yang ditunjang dengan wawancara untuk menggambarkan hubungan antara hukum fiskal dan kepatuhan lingkungan dalam praktik. Temuan menunjukkan bahwa hukum bisnis harus memainkan peran strategis sebagai penghubung antara kebijakan fiskal dan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, reformasi regulasi dan perbaikan tata kelola kelembagaan menjadi syarat mutlak untuk menjadikan insentif fiskal sebagai instrumen hukum yang efektif dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.