Restorative justice hadir sebagai paradigma pemidanaan yang menggeser orientasi dari pembalasan menuju pemulihan kerugian korban, tanggung jawab pelaku, serta keseimbangan sosial. Namun, penerapannya dalam sistem hukum pidana Indonesia masih menghadapi persoalan mendasar, terutama terkait kepastian hukum. Fragmentasi aturan sektoral, kekaburan norma, serta pertentangan dengan paradigma retributif dalam KUHP lama menimbulkan ketidakseragaman praktik dan berimplikasi pada lemahnya prediktabilitas hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesenjangan antara asas kepastian hukum (das sollen) dengan praktik penerapan restorative justice (das sein), serta mengkaji urgensi integrasi konsep tersebut ke dalam sistem pemidanaan struktural dalam rangka pembaruan hukum pidana Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus, yang dilengkapi analisis kualitatif terhadap bahan hukum primer, sekunder, serta studi kasus empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa restorative justice telah memperoleh legitimasi normatif melalui berbagai regulasi sektoral (Perpol No. 8/2021, Perja No. 15/2020, Perma No. 1/2024), serta pengakuan eksplisit dalam KUHP baru (UU No. 1/2023). Meski demikian, implementasinya masih menghadapi tantangan berupa ego sektoral, rendahnya profesionalitas aparat, serta kesenjangan antara norma ideal dan praktik di lapangan. Oleh karena itu, integrasi restorative justice dalam sistem pemidanaan struktural merupakan kebutuhan mendesak guna menjamin keselarasan antara nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dalam pembaruan hukum pidana Indonesia.