Tinjauan Hukum Kekerasan terhadap Anak Berdasarkan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kekerasan terhadap anak merupakan permasalahan serius yang terus mengancam masa depan generasi penerus bangsa Indonesia. Fenomena ini telah menjadi isu yang mengkhawatirkan, mengingat intensitas dan kompleksitas kasusnya yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2019 hingga 2023 telah terjadi peningkatan signifikan kasus kekerasan terhadap anak, dengan total 16.308 kasus yang dilaporkan, dimana 67% di antaranya merupakan kasus kekerasan fisik. Merespon fenomena tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan penguatan instrumen hukum melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Khususnya dalam Pasal 80, undang-undang ini mengatur secara spesifik mengenai sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penegakan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia dan apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan anak berdasarkan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 serta bagaimana solusi untuk mengatasinya. Metode penelitiannya adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukumnya menggunakan studi dokumen, analisis putusan pengadilan, observasi dan kaji pustaka untuk selanjutnya di analisa secara deskriptif. Adapun hasil penelitiannya implementasi penegakan Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak masih menghadapi berbagai tantangan, seperti lemahnya kapasitas aparat penegak hukum, minimnya perlindungan korban selama proses hukum, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara menunjukkan bahwa sanksi terhadap pelaku belum sebanding dengan dampak pada korban, sementara sistem peradilan ramah anak belum optimal. Hambatan utama mencakup stigma sosial, akses hukum yang terbatas, birokrasi yang rumit, serta koordinasi antar lembaga yang lemah. Untuk itu, dibutuhkan upaya komprehensif seperti peningkatan sanksi hukum, reformasi birokrasi, pelatihan aparat, edukasi masyarakat, serta penguatan sistem pelaporan dan koordinasi antarlembaga guna memastikan perlindungan maksimal bagi anak dari kekerasan.