Perkawinan merupakan institusi fundamental dalam kehidupan sosial dan hukum yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, serta sistem hukum suatu negara. Regulasi mengenai perkawinan di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan ini menimbulkan implikasi serius bagi pasangan beda agama, di mana negara hanya mencatat perkawinan yang dianggap sah secara agama. Banyak pasangan lintas agama mengalami hambatan administratif dan yuridis dalam mencatatkan pernikahan. Sebagian pasangan memilih mencari celah hukum melalui putusan pengadilan sebagaimana tercermin dalam Putusan Pengadilan Negri Jakarta Pusat Nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst, yang memberikan izin pencatatan perkawinan beda agama melalui mekanisme permohonan penetapan. Sementara itu, regulasi mengenai perkawinan di Korea Selatan menawarkan pendekatan sekuler terhadap institusi perkawinan. Berdasarkan Civil Act of the Republic of Korea, perkawinan cukup dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan pencatatan sipil, tanpa mempermasalahkan perbedaan agama. Pendekatan ini memungkinkan pasangan beda agama menikah secara sah tanpa harus berpindah keyakinan, dan tetap memperoleh pengakuan negara secara penuh. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan pendekatan perbandingan hukum (comparative legal approach) dengan menganalisis peraturan perundang- undangan, putusan pengadilan, doktrin, serta studi kasus yang relevan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perbedaan asas dan prinsip hukum perkawinan di Indonesia dan Korea Selatan, serta menilai apakah model hukum Korea dapat dijadikan acuan reformasi hukum nasional yang lebih inklusif dan pluralistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia bersifat religius dan menempatkan agama sebagai syarat mutlak dalam keabsahan perkawinan. Sebaliknya, Korea Selatan telah memisahkan antara legalitas perkawinan dan afiliasi keagamaan, dengan menjamin kesetaraan hak sipil setiap warga negara dalam membentuk keluarga. Dibutuhkan reformasi hukum perkawinan di Indonesia yang tetap mengakomodasi nilai-nilai agama, namun juga mempertimbangkan prinsip-prinsip konstitusional seperti hak atas kebebasan beragama dan persamaan di hadapan hukum (UUD 1945 Pasal 28D dan 29).