Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa supremasi hukum menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan negara. Dalam konteks hukum perdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak layaknya undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Selain itu, Pasal 1230 KUHPerdata menyatakan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Namun, dalam praktik pelaksanaan perjanjian, tidak jarang terjadi wanprestasi, yaitu kegagalan salah satu pihak dalam memenuhi kewajiban yang telah disepakati. Wanprestasi dapat menimbulkan akibat hukum seperti tuntutan ganti rugi, pembayaran bunga, atau pembatalan perjanjian. Proyek Kemakmuran Hijau (Green Prosperity Project), yaitu bagian dari perjanjian Compact antara Pemerintah Indonesia dan Millennium Challenge Corporation (MCC) Amerika Serikat, yang bertujuan untuk mengatasi tantangan pembangunan ekonomi sekaligus mendukung pengurangan emisi karbon dan penggunaan energi terbarukan. Dengan total anggaran sebesar 332,5 juta dolar AS, proyek ini menjadi bagian terbesar dari Compact yang mulai berlaku pada 2 April 2013 hingga 1 April 2018. Dalam implementasinya, Proyek GP mengalami sejumlah persoalan hukum terkait pelaksanaan perjanjian, termasuk potensi wanprestasi yang membutuhkan penyelesaian berdasarkan mekanisme hukum yang telah disepakati. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar hukum wanprestasi dan bentuk penyelesaiannya dalam pelaksanaan perjanjian Proyek Kemakmuran Hijau berdasarkan hukum perdata Indonesia.