Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, namun tidak jarang berakhir dengan perceraian akibat perselisihan yang tidak terselesaikan. Perceraian ini menimbulkan akibat hukum, khususnya terkait hak asuh anak yang seringkali menjadi objek sengketa antara mantan suami istri. Padahal, secara normatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, hingga Undang-Undang Dasar 1945, kedua orang tua tetap memiliki tanggung jawab yang sama dalam merawat, mendidik, dan memenuhi hak-hak anak demi kepentingan terbaik anak. Kegagalan orang tua dan pengadilan dalam mengutamakan kesejahteraan anak pasca perceraian berisiko mengabaikan hak anak untuk tumbuh, berkembang, dan memperoleh perlindungan secara menyeluruh. Oleh karena itu, penting untuk menelaah pertimbangan hukum dalam putusan hakim terkait hak asuh anak, khususnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2948 K/Pdt/2019 dan Nomor 3296 K/Pdt/2017, yang menurut penulis menunjukkan adanya kekeliruan dalam memperhatikan prinsip kepentingan terbaik anak. Penelitian ini menjadi penting untuk menggali bagaimana perbedaan pertimbangan hukum antara dua wilayah, yakni Bandung dan Mojokerto, serta untuk mengevaluasi pelaksanaan kewajiban orang tua dalam perspektif hukum perdata. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi implementasi tanggung jawab ayah selaku orang tua dalam pemenuhan kebutuhan hidup anak di bawah umur, khususnya dalam konteks putusan perceraian di wilayah Bandung dan Mojokerto; serta menganalisis perbandingan pertimbangan hukum pada putusan kasasi terkait penetapan hak asuh anak di wilayah Bandung dan Mojokerto. Penelitian ini menganalisis pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2948 K/Pdt/2019 dan Nomor 3296 K/Pdt/2017 terkait penetapan hak asuh dan tanggung jawab nafkah anak pasca perceraian. Hasil analisis menunjukkan bahwa Mahkamah Agung secara konsisten menegaskan kewajiban ayah dalam memenuhi nafkah anak sesuai Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan mempertimbangkan prinsip kepentingan terbaik anak dan keadilan distributif. Perbedaan terlihat dalam penetapan hak asuh, di mana dalam perkara Bandung lebih menitikberatkan pada kondisi faktual dan kedekatan emosional anak dengan ayah, sedangkan dalam perkara Mojokerto Mahkamah Agung memilih memulihkan hak asuh kepada ibu berdasarkan pertimbangan normatif dan prosedural. Kedua putusan tersebut menunjukkan bahwa asas kepentingan terbaik anak tetap menjadi pijakan utama, meskipun implementasinya disesuaikan dengan fakta dan konteks masing-masing kasus.