Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan proses demokratis yang harus berjalan sesuai dengan prinsip kepastian hukum. Dalam Pilkada Serentak 2024, ketentuan mengenai batas usia calon gubernur dan wakil gubernur menjadi perdebatan setelah munculnya perbedaan putusan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Agung mengubah ketentuan usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun saat pelantikan, berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan usia minimal saat pendaftaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertanggungjawaban hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menetapkan dan menyesuaikan aturan pencalonan kepala daerah berdasarkan Putusan MK, serta mengkaji implikasi disharmoni hukum antara putusan MK dan MA terhadap kepastian hukum dalam Pilkada 2024. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan analisis terhadap peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Sumber bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPU memiliki kewajiban hukum administratif untuk menyesuaikan regulasi pemilu sesuai dengan putusan MK. Selain itu, perbedaan putusan antara MK dan MA dalam perkara ini berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum bagi calon kepala daerah. Dari aspek politik, KPU juga bertanggung jawab untuk menjaga kredibilitas dan legitimasi penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme harmonisasi antara lembaga peradilan dan penyelenggara pemilu guna memastikan kepastian hukum dan stabilitas politik dalam sistem demokrasi di Indonesia.

S11805

FH 0114 2025

Bekasi

Tersedia