Peredaran mata uang palsu merupakan tindak pidana yang berdampak besar terhadap stabilitas ekonomi nasional dan kepercayaan masyarakat terhadap alat pembayaran yang sah. Kejahatan ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga merusak sistem moneter negara. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, khususnya Pasal 36, telah mengatur secara tegas mengenai sanksi pidana bagi pelaku pemalsuan dan pengedaran mata uang. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan hukum terhadap pelaku sering kali menimbulkan polemik, terutama dalam hal kesesuaian antara beratnya sanksi dengan dampak kejahatan yang ditimbulkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumber data berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini berfokus pada dua putusan pengadilan, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 127/Pid.B/2019/PN Dpk dan Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 314/Pid.B/2020/PN Jmr, dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pidana dan teori penegakan hukum Lawrence M. Friedman sebagai pisau analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pengedaran uang palsu dalam kedua kasus tersebut telah memenuhi unsur kesalahan dan kemampuan untuk bertanggung jawab. Namun, sanksi pidana yang dijatuhkan masih jauh di bawah batas maksimal yang ditentukan oleh undang-undang. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana lebih menitikberatkan pada kondisi subjektif pelaku seperti penyesalan dan latar belakang ekonomi, dibandingkan dengan dampak perbuatannya terhadap kepentingan publik. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Pasal 36 UU Mata Uang belum sepenuhnya konsisten dan belum mampu memberikan efek jera secara optimal.