Setiap transaksi jual beli hak atas tanah menurut UUPA dan pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diwajibkan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah ke kantor pertanahan, dengan alat bukti otentik. Kenyataannya banyak masyarakat masih melakukan jual beli tanah secara di bawah tangan, termasuk di wilayah Desa Waleo, Pulau Buru, Maluku-Ambon. Alat buktinya hanya berupa akta di bawah tangan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan oleh kepala daerah dan diketahui oleh ketua adat setempat. Rumusan masalah penelitian ini, yaitu : (1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak-pihak pembeli (Tanah sengketa) yang dilakukan di bawah tangan berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria? (2) Bagaimana Kepastian hukum terhadap legalitas dokumen kepemilikan tanah dalam praktek jual beli di bawah tangan berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997?. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif guna untuk melihat bagaimana akibat hukum dari perbuatan jual beli tanh secara di bawah tangan dan mengetahui bagaimana legalitas dokumen yang di dapat. Hasil yang didapat bahwa dalam peralihan hak atas tanah yang diakukan dengan jual beli secara di bawah tangan dapa dikatakan sah secara hukum menurut pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kekuatan pembuktian surat jual beli tanah di bawah tangan lemah, karena berpeluang untuk disangkal keberadaanya dan tidak dapat digunaka sebagai dasar untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah sesua dengan ini dari pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentan Pendaftaran Tanah. Simpulan dari penelitian ini mau mengatakan bahwa pentingnya peran pejabat daerah dalam mensosialisasikan setiap peraturan peralihak hak atas tanah dan mengedukasi masyarakat adat bahwa proses pendaftaran peralihan hak atsa tanah jika dilaukan sesuai dengan peraturan yang ada.