Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hukum serta bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penipuan berbasis digital melalui teknologi deepfake di Indonesia, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun pelaku penipuan berbasis deepfake dapat dijerat menggunakan ketentuan pidana yang ada, seperti Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) UU ITE, pengaturan hukum yang berlaku belum secara tegas dan spesifik mengakomodasi perkembangan teknologi tersebut. Regulasi yang ada dinilai masih bersifat umum dan belum sepenuhnya responsif terhadap dinamika kemajuan teknologi informasi. Oleh karena itu, diperlukan reformulasi hukum yang lebih adaptif, khususnya dalam merespons kejahatan berbasis teknologi digital, serta penguatan strategi pembuktian yang relevan dengan karakteristik bukti digital. Terhadap pelaku penipuan menggunakan deepfake, pertanggungjawaban pidana tetap dapat diterapkan. Namun, pemidanaan masih bergantung pada ketentuan umum yang belum dirancang secara khusus untuk kejahatan berbasis kecerdasan buatan. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa diperlukan pembaruan hukum pidana yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi AI, termasuk deepfake, serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami dan menggunakan alat bukti elektronik.