Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai justice collaborator dalam sistem hukum pidana Indonesia tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Namun demikian, pengaturan tersebut masih bersifat umum dan belum secara komprehensif mengatur penerapan justice collaborator dalam tindak pidana umum, seperti pembunuhan.
Pertimbangan hakim dalam menetapkan terdakwa tindak pidana pembunuhan sebagai justice collaborator dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 298/Pid.B/2022/PN.Jkt.Sel. Penetapan Richard Eliezer sebagai justice collaborator dalam perkara pembunuhan berencana menunjukkan bahwa hakim memiliki ruang penafsiran yang cukup luas terhadap ketentuan hukum yang ada, meskipun tindak pidana pembunuhan berencana tidak secara tegas disebutkan dalam regulasi terkait. Kontribusi terdakwa dalam mengungkap kejahatan menjadi dasar utama bagi hakim dalam memberikan status tersebut.
Meskipun demikian, diperlukan pengaturan yang lebih jelas dan tegas serta koordinasi yang lebih baik antar aparat penegak hukum dalam menetapkan justice collaborator pada perkara pidana umum. Perlindungan hukum dan perlakuan yang adil harus tetap diberikan tanpa menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku.