Penelitian ini membahas penegakan hukum internasional terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar. Meskipun kerangka hukum internasional seperti Konvensi Genosida 1948 dan prinsip Responsibility to Protect telah tersedia, implementasinya dihadapkan pada berbagai hambatan, antara lain keterbatasan yurisdiksi, ketiadaan mekanisme penegakan yang mengikat, serta lemahnya komitmen politik negara-negara terkait. Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengupayakan pertanggungjawaban hukum, namun prosesnya terbentur oleh kendala politis, terutama sikap non-kooperatif Myanmar dan penggunaan hak veto oleh negara-negara besar dalam Dewan Keamanan PBB. Di tingkat regional, respons ASEAN masih terbatas akibat prinsip non-intervensi dan lemahnya mekanisme penegakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis terhadap dokumen hukum internasional, putusan lembaga peradilan internasional, serta literatur ilmiah terkini. Temuan menunjukkan adanya kesenjangan antara norma hukum internasional dan realitas pelaksanaannya dalam kasus Rohingya. Penelitian ini merekomendasikan perlunya penguatan kolaborasi antarnegara dan reformasi institusional guna mendorong efektivitas mekanisme penegakan hukum internasional, termasuk penerapan prinsip yurisdiksi universal dan pembentukan mekanisme regional yang lebih responsif terhadap pelanggaran HAM berat.